Gambar istimewa, “KPPS, Relawan, dan Demokrasi yang Berdiri di Atas Lelah Warga” (Oleh: Ramli Ondang Djau)

KPPS, Relawan, dan Demokrasi yang Berdiri di Atas Lelah Warga.

“KPPS, Relawan, dan Demokrasi yang Berdiri di Atas Lelah Warga”

(Oleh: Ramli Ondang Djau)

 

Setiap kali pemilu digelar, perhatian publik hampir selalu terpusat pada kandidat, kampanye, drama politik elit, dan hitung-hitungan elektoral. Namun ada satu barisan yang jarang muncul di headline, padahal tanpa mereka demokrasi Indonesia tidak akan pernah berdiri tegak: para anggota KPPS, PPS, PPK, dan relawan warga yang bekerja di balik layar. Di tangan merekalah seluruh proses pemilu menemukan bentuknya yang paling nyata: suara rakyat.

Pemilu di Indonesia bukan hanya ritual memilih, tetapi sebuah operasi sosial yang rumit. Di balik tenda biru TPS, di balik daftar hadir yang disusun rapi, di balik tinta ungu di ujung jari, terdapat energi ratusan ribu warga yang mengikat demokrasi agar tidak runtuh oleh kelalaian. Mereka bekerja dalam senyap, dalam kepatuhan pada aturan, dalam kelelahan yang tidak pernah sepenuhnya dihargai.

Kerja KPPS sering digambarkan sebagai “kerja sehari”, padahal sesungguhnya ia adalah kerja berminggu-minggu. Ada fase pelatihan, pengecekan logistik, penyusunan daftar pemilih, penjemputan undangan, simulasi prosedur, hingga mempersiapkan TPS dari subuh. Puncaknya terjadi pada hari pemungutan suara, ketika mereka harus hadir sebelum matahari terbit dan pulang jauh setelah malam jatuh.

Kita sering lupa bahwa sebagian besar anggota KPPS adalah warga biasa: guru honorer, mahasiswa, ibu rumah tangga, pegawai kecil, bahkan pengangguran yang mengisi waktu dengan menjadi relawan. Mereka bukan tokoh publik, bukan pejabat, bukan selebritas. Namun di hari pemungutan suara, mereka menjadi tonggak sah demokrasi. Tanpa tanda tangan mereka, tidak ada satu pun suara yang dapat dinyatakan sah.

Pilkada dan Pemilu selalu mengusung jargon “pesta demokrasi”. Tetapi bagi KPPS, istilah itu terasa ironis. Pesta bagi sebagian orang adalah keramaian, tetapi bagi KPPS adalah kesibukan tanpa henti, perhitungan suara yang panjang, dan rasa takut berbuat salah. Mereka memastikan seluruh proses berjalan jujur, meskipun mereka sendiri tidak selalu mendapatkan jaminan keselamatan kerja yang layak.

Di beberapa daerah, termasuk di Kota Gorontalo, saya sering mendengar cerita yang sama: anggota KPPS yang tertidur di kursi plastik karena terlalu lelah, relawan yang bertahan hingga dini hari demi memastikan formulir plano tidak salah isi, PPS yang mengantar kotak suara melewati jalan rusak, hingga PPK yang bekerja seminggu penuh tanpa istirahat layak. Demokrasi kita berdiri di atas tubuh-tubuh yang lelah.

Di titik ini, kita layak bertanya: apakah negara telah memberi cukup penghargaan? Atau justru negara mengandalkan ketulusan warga tanpa memberikan perlindungan yang memadai? Kita tidak bisa menutup mata bahwa pada Pemilu 2019, ratusan petugas KPPS gugur karena kelelahan. Hingga kini, perbaikan sistemik untuk melindungi mereka masih belum terasa signifikan.

Kompleksitas pemilu serentak membawa konsekuensi besar bagi mereka yang berada di lapis paling bawah. Setiap kesalahan—sekecil apa pun—dapat berujung pada sanggahan peserta, keributan kecil, bahkan ancaman. Padahal mereka bukan ahli hukum pemilu, bukan juga penjaga keamanan profesional. Mereka hanyalah warga yang diminta menjalankan amanat undang-undang.

Gaya Kompas sering menekankan sisi kemanusiaan dalam demokrasi, dan sisi itulah yang paling relevan. Demokrasi bukan hanya tentang prosedur, tetapi tentang orang-orang yang menghidupi prosedur itu. Mereka yang berdiri seharian di TPS adalah wajah nyata demokrasi yang jarang disorot. Mereka tidak berorasi, tidak tampil di televisi, tidak diwawancara media. Tetapi tanpa mereka, pemilu berhenti menjadi pemilu.

Media Indonesia kerap menyoroti aspek kebijakan, dan dari perspektif itu kita melihat bahwa aturan penyelenggaraan pemilu masih cukup elitis. Banyak kebijakan dibuat dengan asumsi ideal, tanpa sepenuhnya memahami dinamika lapangan. Ketika formulir diperbanyak, ketika kewajiban diperketat, ketika teknis diperumit, maka beban itu secara otomatis jatuh pada KPPS dan perangkat penyelenggara tingkat bawah.

Padahal, inti demokrasi seharusnya bukan memperumit, tetapi menyederhanakan. Memberi ruang bagi warga untuk menjadi bagian dari proses tanpa merasa terbebani. Demokrasi yang terlalu birokratis justru menjauhkan orang dari partisipasi. Kita butuh keberanian untuk merancang pemilu yang manusiawi, yang memprioritaskan kesejahteraan petugas dan kenyamanan pemilih.

Di Gorontalo, pengalaman saya mengamati proses Pilkada menunjukkan bahwa banyak anggota KPPS bekerja melampaui ekspektasi. Mereka memediasi warga yang belum terdaftar, mengantar undangan dari rumah ke rumah, membantu pemilih disabilitas, sampai harus meladeni protes kecil dari pendukung kandidat. Semua dilakukan tanpa keluhan, seolah-olah ini adalah panggilan moral.

Namun panggilan moral saja tidak cukup. Negara harus hadir. Bukan sekadar memberikan honor, tetapi menjamin keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan. Kita tidak bisa lagi memaklumi kecelakaan kerja sebagai “konsekuensi demokrasi”. Setiap petugas KPPS yang tumbang adalah alarm bahwa sistem kita belum sepenuhnya sehat.

Kita juga perlu mengubah narasi publik. Pemilih sering melihat KPPS sebagai “petugas biasa”, padahal mereka adalah garda terdepan. Mereka menjalankan fungsi administratif, tetapi konsekuensinya politis. Mereka menjaga integritas, tetapi tidak mendapat sorotan publik. Tanpa mereka, tidak ada proses yang berlangsung, tidak ada hasil yang disahkan, dan tidak ada legitimasi yang lahir.

Demokrasi yang berdiri di atas lelah warga bukanlah demokrasi yang ideal. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang memberi ruang istirahat, bukan yang menguras energi. Demokrasi yang kuat adalah demokrasi yang menghargai mereka yang bekerja dalam diam. Apresiasi tidak cukup hanya berupa ucapan terima kasih; ia harus diwujudkan dalam kebijakan nyata.

Sudah saatnya kita meninjau ulang seluruh skema beban kerja KPPS, termasuk durasi kerja, jumlah formulir, mekanisme pelaporan, dan standar keamanan. Pemilu serentak memang efisien bagi negara, tetapi belum tentu efisien bagi petugas lapangan. Kita harus berani menempatkan kemanusiaan di atas efisiensi.

Selain itu, pendidikan politik bagi masyarakat tetap penting agar para pemilih memahami tugas berat petugas TPS. Ketika warga lebih menghargai, maka potensi kesalahpahaman dan konflik kecil dapat ditekan. Kehadiran relawan muda juga perlu didorong, sebab mereka membawa energi baru dan kemampuan digital yang mendukung proses verifikasi.

Di sinilah partisipasi publik menemukan makna terdalamnya. Partisipasi tidak hanya memilih, tetapi juga mengawal proses. Relawan yang hadir di TPS, pemuda yang membantu logistik, akademisi yang memantau proses, hingga organisasi masyarakat yang menjalankan edukasi pemilih—semuanya merupakan simpul yang menjahit demokrasi dari bawah.

Sebagai penyelenggara pemilu sekaligus akademisi, saya percaya bahwa demokrasi lokal tidak hanya ditentukan oleh elit politik, tetapi oleh warga yang hadir dan bekerja dengan penuh dedikasi. Pilkada bukan hanya soal siapa yang menang, tetapi bagaimana prosesnya dijalankan. Dan proses itu berdiri di atas pundak mereka yang sering tak terlihat: petugas penyelenggara tingkat bawah.

Jika demokrasi ingin terus bertahan, maka negara harus menjaga mereka yang menjaganya. KPPS, PPS, PPK, dan para relawan bukan sekadar bagian dari struktur penyelenggara pemilu; mereka adalah fondasi. Ketika fondasi rapuh, rumah demokrasi ikut bergoyang.

Kita memasuki era di mana demokrasi kian diuji oleh polarisasi, misinformasi, dan pragmatisme politik. Dalam situasi ini, kerja KPPS menjadi semakin krusial. Mereka memastikan bahwa suara rakyat tidak tertukar, tidak hilang, tidak dipalsukan. Mereka adalah filter terakhir yang menentukan apakah pemilu berjalan jujur atau tidak.

Pada akhirnya, opini ini adalah bentuk penghormatan kecil untuk mereka. Demokrasi Indonesia bukan hanya berdiri di atas aturan dan lembaga, tetapi di atas kerja warga biasa yang bersedia melelahkan diri demi tegaknya suara rakyat. Jika kita ingin demokrasi tumbuh sehat, maka mulailah dengan merawat mereka yang telah menjaganya dalam senyap.