Kepahlawanan Modern: Memaknai Perjuangan Baru lewat Partisipasi Publik dalam Demokrasi
Kepahlawanan Modern: Memaknai Perjuangan Baru lewat Partisipasi Publik dalam Demokrasi
Oleh Ramli Ondang Djau
(Anggota KPU Kota Gorontalo, Peneliti Partisipasi Publik)
Setiap 10 November, bangsa ini menundukkan kepala mengenang mereka yang telah gugur di medan perjuangan. Hari Pahlawan selalu menjadi ruang refleksi tentang makna pengorbanan dan semangat juang. Namun, di tengah hiruk pikuk demokrasi elektoral yang semakin kompleks, kepahlawanan tampaknya tak lagi hanya bermakna mengangkat senjata melawan penjajah, tetapi juga bertransformasi menjadi perjuangan sipil mempertahankan nilai-nilai demokrasi.
Perjuangan hari ini bukan lagi tentang darah dan peluru, melainkan tentang kejujuran, partisipasi, dan keberanian bersuara di tengah ruang publik yang sering gaduh oleh kepentingan pragmatis. Demokrasi menuntut bentuk baru dari heroisme — bukan dalam pertempuran fisik, tetapi dalam keteguhan moral dan komitmen menjaga integritas kehidupan bernegara.
Di era pascapemilu, kepahlawanan modern itu menemukan bentuknya dalam partisipasi publik. Sebab, demokrasi sejatinya tidak berakhir di bilik suara. Justru setelah pemilu usai, ruang partisipasi warga menjadi semakin penting: mengawasi kebijakan, mengawal hasil pemilu, dan memastikan bahwa mandat rakyat benar-benar diterjemahkan dalam tindakan nyata oleh para pemimpin terpilih.
Dalam konteks ini, rakyat bukan hanya pemilih yang pasif, melainkan subjek aktif yang berdaulat. Teori Civic Voluntarism Model (Verba, Schlozman, dan Brady, 1995) menjelaskan bahwa partisipasi politik warga sangat dipengaruhi oleh tiga hal: sumber daya (resources), motivasi (engagement), dan jaringan sosial (recruitment). Ketiganya menjadi fondasi bagi lahirnya kepahlawanan warga — bukan lagi karena darah dan nyawa, tapi karena kesadaran dan tanggung jawab.
Bagi masyarakat Kota Gorontalo, dinamika partisipasi publik dalam pemilihan kepala daerah menunjukkan wajah demokrasi yang terus belajar. Data KPU mencatat bahwa tingkat partisipasi pemilih di Kota Gorontalo dalam Pilkada 2018 mencapai sekitar 78,9 persen. Sementara dalam Pilkada 2024, angka partisipasi masih cukup tinggi meski mengalami sedikit penurunan karena faktor mobilitas penduduk dan kejenuhan elektoral.
Namun, di balik angka-angka itu, terdapat makna sosial yang lebih dalam: partisipasi bukan sekadar mencoblos, tetapi kesediaan warga untuk menjadi bagian dari proses demokrasi yang berkelanjutan. Warga yang datang ke TPS bukan hanya menyalurkan haknya, tetapi juga memikul harapan kolektif agar daerah ini tetap demokratis dan inklusif.
Jika kita menilik perjalanan demokrasi di Gorontalo, terlihat bagaimana partisipasi publik mulai beranjak dari sekadar ritual elektoral menuju bentuk keterlibatan yang lebih deliberatif. Forum-forum dialog, musyawarah perencanaan pembangunan, hingga keterlibatan masyarakat sipil dalam pengawasan pemilu menunjukkan bahwa warga tidak lagi sekadar objek kebijakan, melainkan mulai menjadi subjek penentu arah kebijakan publik.
Dalam kerangka teori demokrasi deliberatif (Habermas, 1996; Dryzek, 2000), partisipasi warga pascapemilu mencerminkan bentuk kepahlawanan baru: memperjuangkan ruang diskursif yang sehat, rasional, dan inklusif. Demokrasi bukan sekadar mekanisme memilih pemimpin, tetapi juga proses membangun makna bersama tentang kebaikan publik (public good).
Sayangnya, tantangan kepahlawanan sipil ini tidak ringan. Di era digital dan polarisasi politik yang tajam, partisipasi publik sering kali terjebak dalam euforia sesaat dan bias informasi. Banyak warga yang berpartisipasi bukan untuk memperjuangkan kebenaran bersama, melainkan untuk mempertahankan kebenaran kelompok. Di sinilah pentingnya literasi demokrasi, agar partisipasi tidak kehilangan arah.
Hari Pahlawan mengingatkan kita bahwa perjuangan tanpa kesadaran adalah sia-sia. Begitu juga partisipasi politik tanpa pemahaman. Demokrasi hanya akan bermakna ketika rakyat sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara — bukan hanya pada saat mencoblos, tetapi sepanjang masa pemerintahan berlangsung.
Kota Gorontalo, dengan karakter sosial yang kuat pada nilai-nilai kekeluargaan dan religiusitas, sebenarnya memiliki modal sosial yang besar untuk membangun partisipasi publik yang bermakna. Modal sosial ini — meminjam konsep Kaufman dalam 3A Framework (Awareness, Action, Accountability) — menjadi energi moral bagi warga untuk bergerak dari kesadaran menuju tindakan, dan dari tindakan menuju akuntabilitas bersama.
Kesadaran (awareness) warga akan pentingnya keterlibatan dalam demokrasi harus terus ditumbuhkan melalui pendidikan politik yang partisipatif. Tindakan (action) nyata dapat diwujudkan dalam bentuk pengawasan, advokasi, atau partisipasi dalam forum kebijakan publik. Dan yang paling penting, akuntabilitas (accountability) harus menjadi napas bersama antara pemerintah dan rakyat.
Dengan demikian, kepahlawanan modern bukan sekadar slogan normatif, tetapi praksis sosial-politik yang hidup dalam keseharian warga. Ketika masyarakat ikut mengawasi penggunaan anggaran daerah, ketika mahasiswa menyuarakan aspirasi secara santun namun tegas, ketika perempuan terlibat aktif dalam perencanaan pembangunan — di sanalah ruh kepahlawanan itu tumbuh.
Dalam konteks pascapemilu, momentum Hari Pahlawan dapat menjadi refleksi moral bagi seluruh penyelenggara pemilu, peserta, maupun pemilih. Pahlawan masa kini adalah mereka yang menjaga kejujuran proses, menolak politik uang, dan mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
Lebih jauh, kepahlawanan sipil juga terletak pada kemampuan warga untuk menahan diri dari ekstremisme politik dan polarisasi sosial. Sebab, salah satu tantangan terbesar demokrasi lokal adalah bagaimana merawat kohesi sosial setelah kompetisi politik usai. Gorontalo, dengan kultur musyawarah dan falsafah “Adati hula-hulaa to syara’a, syara’a hula-hulaa to Qur’ani” memiliki warisan kearifan lokal yang sejalan dengan semangat demokrasi deliberatif.
Warisan budaya tersebut menegaskan bahwa setiap keputusan publik harus berpijak pada moralitas dan keadilan sosial. Dalam konteks itulah, partisipasi publik tidak hanya menjadi tindakan politik, tetapi juga bentuk ibadah sosial — perjuangan untuk menjaga amanah kemerdekaan yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Partisipasi pascapemilu yang bermakna akan memperkuat legitimasi pemerintahan lokal. Ia menciptakan rasa memiliki di antara warga terhadap hasil pemilu, karena mereka merasa menjadi bagian dari proses kontrol dan koreksi kebijakan. Inilah esensi demokrasi yang dihidupkan dari bawah, bukan sekadar prosedural, tetapi substantif.
Di sisi lain, penyelenggara pemilu seperti KPU juga memegang peran penting dalam menjaga api kepahlawanan sipil ini tetap menyala. Melalui pendidikan pemilih berkelanjutan, forum evaluasi publik, serta keterbukaan data, lembaga penyelenggara dapat menumbuhkan kepercayaan rakyat. Sebab, kepercayaan adalah bahan bakar utama partisipasi publik.
Dalam konteks global, demokrasi yang bertahan bukanlah yang paling sempurna, tetapi yang paling mampu menyesuaikan diri dengan aspirasi rakyat. Gorontalo memberi pelajaran bahwa demokrasi lokal bisa tumbuh kuat jika ditopang oleh nilai-nilai partisipatif, budaya dialog, dan kesadaran moral kolektif.
Kini, di momentum Hari Pahlawan ini, setiap warga ditantang untuk bertanya: apakah saya hanya penonton demokrasi, ataukah saya bagian dari perjuangan itu sendiri? Sebab, menjadi pahlawan di zaman ini tidak memerlukan seragam atau senjata, melainkan hati yang jujur dan keberanian untuk peduli
Kepahlawanan modern tidak ditandai oleh monumen atau nama jalan, tetapi oleh sikap-sikap kecil yang menjaga marwah demokrasi. Dari panitia TPS yang bekerja di bawah hujan, hingga warga yang menolak iming-iming politik uang, semuanya adalah pahlawan zaman ini — pahlawan tanpa tanda jasa, namun berjasa besar bagi masa depan bangsa.
Pada akhirnya, semangat kepahlawanan harus terus dihidupkan sebagai energi demokrasi yang tak pernah padam. Dari medan perang ke bilik suara, dari revolusi fisik ke revolusi moral, bangsa ini memerlukan pahlawan baru yang berjuang dengan kesadaran, bukan dengan senjata. Karena demokrasi, seperti halnya kemerdekaan, hanya akan berarti jika kita terus memperjuangkannya — setiap hari, di setiap ruang, dan dalam setiap tindakan kecil yang berpihak pada kebenaran.
Kepahlawanan Modern: Memaknai Perjuangan Baru lewat Partisipasi Publik dalam Demokrasi
Oleh Ramli Ondang Djau
(Anggota KPU Kota Gorontalo, Peneliti Partisipasi Publik)
Setiap 10 November, bangsa ini menundukkan kepala mengenang mereka yang telah gugur di medan perjuangan. Hari Pahlawan selalu menjadi ruang refleksi tentang makna pengorbanan dan semangat juang. Namun, di tengah hiruk pikuk demokrasi elektoral yang semakin kompleks, kepahlawanan tampaknya tak lagi hanya bermakna mengangkat senjata melawan penjajah, tetapi juga bertransformasi menjadi perjuangan sipil mempertahankan nilai-nilai demokrasi.
Perjuangan hari ini bukan lagi tentang darah dan peluru, melainkan tentang kejujuran, partisipasi, dan keberanian bersuara di tengah ruang publik yang sering gaduh oleh kepentingan pragmatis. Demokrasi menuntut bentuk baru dari heroisme — bukan dalam pertempuran fisik, tetapi dalam keteguhan moral dan komitmen menjaga integritas kehidupan bernegara.
Di era pascapemilu, kepahlawanan modern itu menemukan bentuknya dalam partisipasi publik. Sebab, demokrasi sejatinya tidak berakhir di bilik suara. Justru setelah pemilu usai, ruang partisipasi warga menjadi semakin penting: mengawasi kebijakan, mengawal hasil pemilu, dan memastikan bahwa mandat rakyat benar-benar diterjemahkan dalam tindakan nyata oleh para pemimpin terpilih.
Dalam konteks ini, rakyat bukan hanya pemilih yang pasif, melainkan subjek aktif yang berdaulat. Teori Civic Voluntarism Model (Verba, Schlozman, dan Brady, 1995) menjelaskan bahwa partisipasi politik warga sangat dipengaruhi oleh tiga hal: sumber daya (resources), motivasi (engagement), dan jaringan sosial (recruitment). Ketiganya menjadi fondasi bagi lahirnya kepahlawanan warga — bukan lagi karena darah dan nyawa, tapi karena kesadaran dan tanggung jawab.
Bagi masyarakat Kota Gorontalo, dinamika partisipasi publik dalam pemilihan kepala daerah menunjukkan wajah demokrasi yang terus belajar. Data KPU mencatat bahwa tingkat partisipasi pemilih di Kota Gorontalo dalam Pilkada 2018 mencapai sekitar 78,9 persen. Sementara dalam Pilkada 2024, angka partisipasi masih cukup tinggi meski mengalami sedikit penurunan karena faktor mobilitas penduduk dan kejenuhan elektoral.
Namun, di balik angka-angka itu, terdapat makna sosial yang lebih dalam: partisipasi bukan sekadar mencoblos, tetapi kesediaan warga untuk menjadi bagian dari proses demokrasi yang berkelanjutan. Warga yang datang ke TPS bukan hanya menyalurkan haknya, tetapi juga memikul harapan kolektif agar daerah ini tetap demokratis dan inklusif.
Jika kita menilik perjalanan demokrasi di Gorontalo, terlihat bagaimana partisipasi publik mulai beranjak dari sekadar ritual elektoral menuju bentuk keterlibatan yang lebih deliberatif. Forum-forum dialog, musyawarah perencanaan pembangunan, hingga keterlibatan masyarakat sipil dalam pengawasan pemilu menunjukkan bahwa warga tidak lagi sekadar objek kebijakan, melainkan mulai menjadi subjek penentu arah kebijakan publik.
Dalam kerangka teori demokrasi deliberatif (Habermas, 1996; Dryzek, 2000), partisipasi warga pascapemilu mencerminkan bentuk kepahlawanan baru: memperjuangkan ruang diskursif yang sehat, rasional, dan inklusif. Demokrasi bukan sekadar mekanisme memilih pemimpin, tetapi juga proses membangun makna bersama tentang kebaikan publik (public good).
Sayangnya, tantangan kepahlawanan sipil ini tidak ringan. Di era digital dan polarisasi politik yang tajam, partisipasi publik sering kali terjebak dalam euforia sesaat dan bias informasi. Banyak warga yang berpartisipasi bukan untuk memperjuangkan kebenaran bersama, melainkan untuk mempertahankan kebenaran kelompok. Di sinilah pentingnya literasi demokrasi, agar partisipasi tidak kehilangan arah.
Hari Pahlawan mengingatkan kita bahwa perjuangan tanpa kesadaran adalah sia-sia. Begitu juga partisipasi politik tanpa pemahaman. Demokrasi hanya akan bermakna ketika rakyat sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara — bukan hanya pada saat mencoblos, tetapi sepanjang masa pemerintahan berlangsung.
Kota Gorontalo, dengan karakter sosial yang kuat pada nilai-nilai kekeluargaan dan religiusitas, sebenarnya memiliki modal sosial yang besar untuk membangun partisipasi publik yang bermakna. Modal sosial ini — meminjam konsep Kaufman dalam 3A Framework (Awareness, Action, Accountability) — menjadi energi moral bagi warga untuk bergerak dari kesadaran menuju tindakan, dan dari tindakan menuju akuntabilitas bersama.
Kesadaran (awareness) warga akan pentingnya keterlibatan dalam demokrasi harus terus ditumbuhkan melalui pendidikan politik yang partisipatif. Tindakan (action) nyata dapat diwujudkan dalam bentuk pengawasan, advokasi, atau partisipasi dalam forum kebijakan publik. Dan yang paling penting, akuntabilitas (accountability) harus menjadi napas bersama antara pemerintah dan rakyat.
Dengan demikian, kepahlawanan modern bukan sekadar slogan normatif, tetapi praksis sosial-politik yang hidup dalam keseharian warga. Ketika masyarakat ikut mengawasi penggunaan anggaran daerah, ketika mahasiswa menyuarakan aspirasi secara santun namun tegas, ketika perempuan terlibat aktif dalam perencanaan pembangunan — di sanalah ruh kepahlawanan itu tumbuh.
Dalam konteks pascapemilu, momentum Hari Pahlawan dapat menjadi refleksi moral bagi seluruh penyelenggara pemilu, peserta, maupun pemilih. Pahlawan masa kini adalah mereka yang menjaga kejujuran proses, menolak politik uang, dan mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
Lebih jauh, kepahlawanan sipil juga terletak pada kemampuan warga untuk menahan diri dari ekstremisme politik dan polarisasi sosial. Sebab, salah satu tantangan terbesar demokrasi lokal adalah bagaimana merawat kohesi sosial setelah kompetisi politik usai. Gorontalo, dengan kultur musyawarah dan falsafah “Adati hula-hulaa to syara’a, syara’a hula-hulaa to Qur’ani” memiliki warisan kearifan lokal yang sejalan dengan semangat demokrasi deliberatif.
Warisan budaya tersebut menegaskan bahwa setiap keputusan publik harus berpijak pada moralitas dan keadilan sosial. Dalam konteks itulah, partisipasi publik tidak hanya menjadi tindakan politik, tetapi juga bentuk ibadah sosial — perjuangan untuk menjaga amanah kemerdekaan yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Partisipasi pascapemilu yang bermakna akan memperkuat legitimasi pemerintahan lokal. Ia menciptakan rasa memiliki di antara warga terhadap hasil pemilu, karena mereka merasa menjadi bagian dari proses kontrol dan koreksi kebijakan. Inilah esensi demokrasi yang dihidupkan dari bawah, bukan sekadar prosedural, tetapi substantif.
Di sisi lain, penyelenggara pemilu seperti KPU juga memegang peran penting dalam menjaga api kepahlawanan sipil ini tetap menyala. Melalui pendidikan pemilih berkelanjutan, forum evaluasi publik, serta keterbukaan data, lembaga penyelenggara dapat menumbuhkan kepercayaan rakyat. Sebab, kepercayaan adalah bahan bakar utama partisipasi publik.
Dalam konteks global, demokrasi yang bertahan bukanlah yang paling sempurna, tetapi yang paling mampu menyesuaikan diri dengan aspirasi rakyat. Gorontalo memberi pelajaran bahwa demokrasi lokal bisa tumbuh kuat jika ditopang oleh nilai-nilai partisipatif, budaya dialog, dan kesadaran moral kolektif.
Kini, di momentum Hari Pahlawan ini, setiap warga ditantang untuk bertanya: apakah saya hanya penonton demokrasi, ataukah saya bagian dari perjuangan itu sendiri? Sebab, menjadi pahlawan di zaman ini tidak memerlukan seragam atau senjata, melainkan hati yang jujur dan keberanian untuk peduli
Kepahlawanan modern tidak ditandai oleh monumen atau nama jalan, tetapi oleh sikap-sikap kecil yang menjaga marwah demokrasi. Dari panitia TPS yang bekerja di bawah hujan, hingga warga yang menolak iming-iming politik uang, semuanya adalah pahlawan zaman ini — pahlawan tanpa tanda jasa, namun berjasa besar bagi masa depan bangsa.
Pada akhirnya, semangat kepahlawanan harus terus dihidupkan sebagai energi demokrasi yang tak pernah padam. Dari medan perang ke bilik suara, dari revolusi fisik ke revolusi moral, bangsa ini memerlukan pahlawan baru yang berjuang dengan kesadaran, bukan dengan senjata. Karena demokrasi, seperti halnya kemerdekaan, hanya akan berarti jika kita terus memperjuangkannya — setiap hari, di setiap ruang, dan dalam setiap tindakan kecil yang berpihak pada kebenaran.