Dinamika Politik Lokal Gorontalo: Dari Politik Kekeluargaan ke Politik Program

Dinamika Politik Lokal Gorontalo: Dari Politik Kekeluargaan ke Politik Program

Oleh: Ramli Ondang Djau

Pilkada Kota Gorontalo bukan sekadar ajang memilih wali kota dan wakil wali kota, melainkan sebuah ruang untuk menilai arah perkembangan demokrasi lokal. Pertanyaannya sederhana namun mendasar: apakah politik di Gorontalo masih terjebak pada pola kekeluargaan dan patronase, ataukah sudah mulai bergerak ke politik berbasis program dan gagasan?

Kota Gorontalo memiliki karakteristik sosial yang khas. Tradisi pohala’a—sistem kekerabatan lima kelompok besar etnis Gorontalo—menciptakan ikatan sosial yang sangat kuat. Ikatan inilah yang kerap menjadi fondasi bagi praktik politik kekeluargaan. Pemimpin politik sering kali lahir dari lingkaran keluarga besar yang memiliki pe ngaruh historis, sehingga kompetisi politik lebih bercorak genealogis daripada ideologis.

Dalam literatur politik, praktik ini dikenal sebagai politik patron-klien. Hubungan antara pemimpin dan masyarakat dibangun di atas loyalitas personal, bukan pada visi kebijakan. Tidak mengherankan jika di berbagai momentum Pilkada, masyarakat lebih sering diarahkan untuk memilih berdasarkan kedekatan emosional, bukan karena pertimbangan program pembangunan.

Namun, perubahan zaman menuntut pola politik baru. Kota Gorontalo yang semakin urban, dengan dominasi pemilih muda dan pemilih pemula, menghadirkan tantangan bagi pola lama. Generasi milenial dan Gen Z cenderung menuntut transparansi, keterbukaan, serta program konkret yang menyentuh isu keseharian mereka, mulai dari lapangan kerja, akses pendidikan, hingga tata kelola kota.

Pergeseran ini mulai terlihat dalam Pilkada 2024. KPU Provinsi Gorontalo, misalnya, mendorong setiap pasangan calon menyusun visi, misi, dan program yang sinkron dengan RPJPD dan RPJMD daerah. Ini adalah upaya sistematis untuk memastikan Pilkada tidak hanya sekadar perebutan kursi, tetapi juga kontestasi gagasan untuk masa depan kota.

Tidak hanya itu, KPU Kota Gorontalo juga menyasar kelompok pemilih muda melalui sosialisasi bersama Generasi Z. Pesan utamanya jelas: jadilah pemilih cerdas, yang menentukan pilihan berdasarkan rekam jejak dan program, bukan berdasarkan siapa keluarga atau kelompoknya. Sosialisasi semacam ini penting untuk membangun kesadaran demokrasi yang lebih substantif.

Namun, jalan menuju politik program tidaklah mulus. Politik uang masih menjadi bayang-bayang nyata dalam Pilkada Kota Gorontalo. Meski Bawaslu berhasil mencegah sebagian besar praktik ini, laporan tentang pemberian uang atau barang oleh tim sukses masih muncul. Hal ini memperlihatkan bagaimana patronase belum sepenuhnya hilang dari politik lokal.

Pemerintah daerah pun ikut mengingatkan. Penjabat Gubernur Gorontalo secara terbuka menyerukan masyarakat untuk menolak politik uang dan tidak golput. Seruan ini menegaskan bahwa kesadaran demokrasi harus diperkuat dari semua lini, baik penyelenggara, pengawas, maupun pemimpin daerah.

Dari perspektif teoritis, apa yang sedang terjadi di Gorontalo adalah tarik-menarik antara demokrasi prosedural dan demokrasi substantif. Demokrasi prosedural hanya menekankan pada proses pemilu yang berlangsung, sementara demokrasi substantif menuntut hadirnya kontestasi program, ide, dan kebijakan. Kota Gorontalo masih berada dalam fase transisi antara keduanya.

Fenomena ini juga sejalan dengan temuan berbagai penelitian bahwa petahana memiliki keunggulan dalam kontestasi karena menguasai anggaran dan jaringan birokrasi. Bahkan pada masa pandemi, refocusing anggaran sempat ditengarai dimanfaatkan sebagai instrumen politik patronase. Ini membuktikan bahwa politik kekerabatan sering berkolaborasi dengan politik kekuasaan.

Meski demikian, tanda-tanda positif mulai tampak. Deklarasi kampanye damai yang melibatkan semua pasangan calon menunjukkan adanya kesadaran etis untuk menjaga kontestasi tetap sehat. Narasi kampanye beberapa pasangan calon pun mulai menonjolkan program konkret, seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas pendidikan, atau penguatan ekonomi lokal.

Salah satu pasangan calon bahkan menggunakan narasi “wakafkan diri untuk perubahan,” sebuah framing politik yang mencoba keluar dari jebakan patronase menuju politik programatis. Meski masih retoris, narasi ini tetap penting sebagai indikasi pergeseran pola komunikasi politik di tingkat lokal.

Partai politik juga berperan dalam mengarahkan arah demokrasi. Di Gorontalo, ada partai yang membuka penjaringan calon kepala daerah secara terbuka, menekankan kualitas visi dan misi. Praktik ini, bila konsisten, dapat menjadi pintu masuk menuju politik berbasis merit dan program.

Namun tidak semua partai benar-benar bertransformasi. Sebagian masih mengandalkan kekuatan simbol dan pengaruh sejarah politik mereka di Gorontalo. Ada partai yang merasa “dicintai rakyat” karena warisan kerja sebelumnya, bukan karena program baru yang ditawarkan. Ini memperlihatkan wajah ganda politik lokal: antara patronase dan program.

Dalam konteks partisipasi masyarakat, angka partisipasi Pilkada Kota Gorontalo memang masih relatif tinggi, berada di atas 70 persen. Namun, jika ditelisik lebih dalam, kualitas partisipasi masih menghadapi masalah. Pemilih sering kali hadir ke TPS karena ikatan sosial atau dorongan lingkungan, bukan karena pertimbangan rasional terhadap program calon.

Di sinilah pentingnya pendidikan politik. Literasi demokrasi harus terus diperkuat, terutama bagi generasi muda. Mereka harus dibekali kemampuan untuk mengkritisi visi-misi kandidat, menguji rekam jejak, serta berani menolak praktik politik uang. Tanpa itu, transisi dari politik kekeluargaan ke politik program hanya akan menjadi slogan kosong.

Peran media lokal juga sangat strategis. Media tidak boleh terjebak pada pemberitaan yang hanya menonjolkan figur atau kedekatan kandidat dengan kelompok tertentu. Media harus menjadi kanal untuk menguji gagasan, mengulas program, dan menyampaikan informasi objektif bagi publik.

Selain itu, peran akademisi dan masyarakat sipil di Gorontalo juga tidak kalah penting. Kampus dan organisasi masyarakat bisa menjadi agen perubahan dengan mendorong diskusi publik yang berbasis data dan kajian akademik, bukan sekadar gosip politik keluarga.

Perlahan tapi pasti, jika semua komponen bergerak bersama, maka politik program dapat menggeser dominasi politik kekerabatan. Tentu saja, perubahan ini tidak terjadi dalam satu atau dua siklus Pilkada. Tetapi tanda-tandanya sudah mulai terlihat dalam Pilkada 2024.

Transisi ini akan menentukan masa depan demokrasi Kota Gorontalo. Jika tetap terjebak pada politik kekeluargaan, maka demokrasi lokal hanya akan berjalan di tempat, sekadar menjadi ritual lima tahunan tanpa substansi. Tetapi jika politik program berhasil menonjol, maka Gorontalo bisa menjadi contoh bagi daerah lain dalam mengelola demokrasi lokal yang sehat.

Sebagai kota yang dikenal dengan julukan Serambi Madinah, Gorontalo memiliki modal sosial dan kultural yang besar untuk mengarahkan politiknya ke arah lebih rasional, transparan, dan berbasis gagasan. Pertanyaannya tinggal satu: apakah elite politik dan masyarakat bersedia meninggalkan pola lama?

Akhirnya, Pilkada Kota Gorontalo 2024 harus dibaca sebagai momentum reflektif. Bukan hanya soal siapa yang menang, tetapi juga tentang bagaimana demokrasi lokal dikelola. Dari politik kekeluargaan menuju politik program, dari loyalitas buta menuju partisipasi cerdas—itulah jalan panjang yang harus ditempuh bersama.