Menimbang Penurunan Partisipasi Pemilih Pilwako Kota Gorontalo: Analisis Data 2013 sampai 2024 dan Implikasi Kebijakan

Menimbang Penurunan Partisipasi Pemilih Pilwako Kota Gorontalo: Analisis Data 2013–2024 dan Implikasi Kebijakan

Oleh: Ramli Ondang Djau

Partisipasi pemilih adalah jantung legitimasi demokrasi. Dalam literatur klasik, partisipasi yang tinggi memperkuat mandat, menekan delegitimasi, dan menjadi prasyarat akuntabilitas pemimpin. Anthony Downs (1957) menyebut pemungutan suara sebagai tindakan rasional yang terjadi ketika manfaat politik mengimbangi biaya partisipasi. Prinsip ini relevan membaca dinamika Gorontalo—khususnya Kota Gorontalo—dalam tiga kontestasi Pilwako (2013, 2018, 2024) dan tiga Pemilu Legislatif (2014, 2019, 2024)

Kota Gorontalo, sebagai salah satu daerah dengan dinamika politik yang cukup tinggi, memperlihatkan tren menarik dalam partisipasi pemilih, baik pada level lokal (pilkada) maupun pada level nasional (pemilu legislatif dan presiden). Data dari tiga periode pilkada terakhir dan tiga pemilu terakhir menunjukkan adanya fluktuasi yang cukup signifikan.

Pada Pilkada Kota Gorontalo tahun 2013, partisipasi pemilih tercatat sebesar 77,08%. Angka ini masih berada pada kategori cukup baik, meskipun terdapat tantangan berupa rendahnya antusiasme kelompok muda dan tingkat mobilisasi politik yang belum optimal. Namun, angka tersebut menunjukkan bahwa mayoritas warga tetap memanfaatkan hak pilihnya.

Tren ini kemudian mengalami peningkatan pada Pilkada 2018, di mana partisipasi mencapai 80,09%. Lonjakan ini menandakan adanya peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi lokal, ditambah dengan meningkatnya kampanye berbasis media sosial yang mulai marak digunakan sebagai instrumen politik.

Sayangnya, tren positif tersebut tidak berlanjut pada Pilkada 2024. Data menunjukkan angka partisipasi justru menurun menjadi 74,17%. Penurunan ini cukup drastis dan menjadi alarm bagi penyelenggara pemilu maupun para aktor politik di tingkat lokal. Hal ini mengindikasikan adanya kejenuhan politik serta faktor eksternal yang memengaruhi keterlibatan warga.

Jika dibandingkan dengan pemilu legislatif dan presiden, pola partisipasi di Kota Gorontalo justru lebih stabil dan bahkan cenderung meningkat. Pada Pemilu 2014, partisipasi pileg mencapai 80,13%, sedangkan pilpres justru relatif lebih rendah yaitu 73,12%. Angka ini mengindikasikan bahwa masyarakat Kota Gorontalo cenderung lebih antusias memilih wakil legislatif dibanding presiden.

Pilwako Kota Gorontalo — 2013: 77,08% ; 2018: 80,09% ; 2024: 74,17%. Untuk perbandingan pada pemilu nasional/legislatif: Pileg 2014 = 80,13%; Pilpres 2014 = 73,12%; Pileg 2019 = 83,65%; Pilpres 2019 = 84,15%; Pileg 2024 = 85,00%; Pilpres 2024 = 86,31%. Saya gunakan angka-angka ini sebagai basis empiris untuk membaca dinamika partisipasi kota.

Jika disandingkan secara visual, grafik menegaskan divergensi: kurva Pilwako cenderung naik turun (77,08 → 80,09 → 74,17), sedangkan kurva Pileg cenderung tinggi dan relatif stabil (80,13 → 83,65 → 85,21). Dengan kata lain, “anomali kota” pada Pilwako 2024 bukanlah keletihan partisipasi menyeluruh—karena pada Pileg di tahun yang sama, warga Kota Gorontalo tetap hadir dalam proporsi sangat tinggi. Gambaran awal memperlihatkan pola yang spesifik: Pilwako menunjukkan kenaikan antara 2013 → 2018, lalu penurunan tajam menuju 2024. Sedangkan Pileg/Pilpres menunjukkan tren meningkat kuat antara 2014 → 2019 dan tetap tinggi pada 2024. Konsekuensinya, fenomena penurunan Pilwako 2024 bersifat kontekstual dan spesifik kontestasi lokal, bukan sekadar refleksi kelelahan pemilih nasional semata.

Secara visual (sesuai grafik diatas) tampak divergensi antara kurva Pilwako dan kurva Pileg/Pilpres: pada 2024 pemilih Kota Gorontalo tetap relatif “aktif” pada pemilu nasional/legislatif (≥85%), tetapi jauh lebih rendah saat memilih wali kota (74,17%). Pola ini menuntut penjelasan yang bersifat lokal-operasional

Apa maknanya? Literatur partisipasi (mis. Verba, Schlozman & Brady. 2003) menekankan tiga dimensi: resources (waktu, pengetahuan, jaringan), engagement (minat, sense of efficacy), dan mobilization (aktivasi oleh kandidat/partai/organisasi). Pada Pileg 2024, mesin mobilisasi jelas bekerja efektif di kota (terlihat dari angka ≥85%); sedangkan pada Pilwako 2024, kapasitas mobilisasi tampak lebih lemah atau tidak seimbang antar-kandidat

Secara kontekstual, lanskap 2024 di Gorontalo diwarnai dinamika provinsial: partisipasi Pilgub 2024 mencapai 79,89% (tingkat provinsi), serta pemberitaan resmi menyebut Gorontalo sebagai salah satu daerah dengan partisipasi tinggi secara nasional—namun juga diakui ada penurunan dibanding siklus-siklus tertentu. Ini menunjukkan heterogenitas: kuat di level provinsi/legislatif, tetapi tidak otomatis menular ke tingkat kota/wali kota

Teori partisipasi politis membantu menjelaskan mekanisme: model rasional (Downs) melihat pemilih sebagai agen yang menimbang biaya–manfaat partisipasi; Civic Voluntarism Model (Verba, Schlozman & Brady) menekankan resources, engagement, dan recruitment; sementara literatur terkini menunjukkan electoral fatigue (kelelahan akibat frekuensi pemilu) memang bisa menekan turnout.

Dari sudut rasionalitas pemilih, ketika expected utility menghadiri TPS lebih rendah (karena kandidat lokal tidak menawarkan pembeda kebijakan nyata atau kandidat dinilai tidak relevan), maka sebagian pemilih memilih non-participation — pilihan yang rasional menurut kerangka Downs. Ini relevan ketika Pilwako dihadapkan pada kandidat yang narasinya tidak cukup berbeda secara substansial.

Dari perspektif mobilisasi, Pileg selalu memanfaatkan jaringan partai yang kuat sampai ke tingkat RT/RW — sejenis ground game yang sangat efektif menaikkan turnout. Pada Pilwako, apabila jaringan itu tidak solid atau koalisi kandidat mengalami fragmentasi, kapilaritas mobilisasi menurun dan turnout ikut tertekan. Penelitian partisipasi menegaskan bahwa recruitment networks adalah pengungkit turnout yang konsisten.

Electoral fatigue adalah faktor kedua yang kredibel. Tahun 2024 bersifat padat: pemilu nasional/legislatif pada Februari 2024, lalu Pilkada serentak November 2024 — beban kampanye dan sosialisasi yang berulang memungkinkan timbulnya kejenuhan. Literatur dan studi empiris menunjukkan bahwa frekuensi pemilu yang tinggi dapat menurunkan motivasi hadir di kontestasi berikutnya.

Faktor demografis juga perlu diperhitungkan. Gorontalo mengalami proporsi pemilih muda yang signifikan; kelompok muda (Gen Z / milenial) cenderung menuntut kanal komunikasi digital dan bukti kebijakan konkret. Bila kampanye Pilwako gagal “berbicara” dengan bahasa dan medium mereka, partisipasi kelompok ini akan relatif rendah. Laporan lokal menunjukkan upaya KPU untuk membidik generasi muda, namun efektivitasnya bervariasi antar segmen.

Faktor teknis dan aksesibilitas berkontribusi pada penurunan: masalah lokasi TPS, hambatan mobilitas, kondisi cuaca, dan antrean panjang merupakan friction costs yang nyata bagi pemilih perkotaan yang sibuk. Kajian prosedural menunjukkan bahwa faktor-faktor administratif dan logistik dapat mengurangi turnout bila tidak dimitigasi.

Ada pula faktor persepsi legitimasi: jika publik menilai kontestasi lokal didominasi politik transaksional atau elit yang berotasi antar posisi, rasa efficacy (keyakinan bahwa suara berpengaruh) mengecil. Robert Dahl mengingatkan bahwa kualitas demokrasi tergantung pada keterlibatan warga; penurunan partisipasi lokal berpotensi menurunkan kualitas representasi.

Pada kasus Kota Gorontalo, bukti faktual dari penelusuran menunjukkan bahwa (a) KPU dan pemangku lokal aktif melakukan sosialisasi dan program kreatif (contoh: pentas seni, sosialisasi untuk Generasi Z), (b) partisipasi provinsi relatif tinggi sehingga problem Pilwako 2024 bukan masalah budaya golput agregat tetapi masalah kontestasi lokal dan mobilisasi. Referensi KPU dan pemberitaan lokal mendukung temuan ini.

Kombinasi faktor di atas (diferensiasi kandidat yang lemah; kelelahan; jaringan mobilisasi Pilwako kurang kapiler; friksi teknis; pola komunikasi yang tidak cocok untuk pemilih muda) menjelaskan mengapa Pilwako 2024 terjun ke 74,17% meskipun Pileg/Pilpres 2024 tetap tinggi (85%–86,31%).

Implikasi Kebijakan Sebagai Tawaran Perbaikan

Implikasi kebijakan Pertama; micro-targeting dan pemetaan prioritas. KPU dan stakeholder harus memetakan TPS/zona dengan turnout rendah pada 2024 dan meluncurkan intervensi spesifik (door-to-door, relawan lingkungan, jam buka khusus untuk pekerja, layanan antar pemilih lansia/disabilitas).

Implikasi kedua: reformulasi pesan kampanye kandidat — dari slogan umum ke paket kebijakan terukur (indikator kinerja, target waktu, sumber pendanaan). Menurut pendekatan rasional-utility, semakin jelas manfaat langsung yang ditawarkan kandidat, semakin tinggi insentif warga untuk memilih.

Implikasi ketiga: strategi digital yang berbasis bukti untuk menjangkau generasi muda. Penggunaan live Q&A, dashboard janji–realisasi, serta kanal dialog dua-arah penting untuk meningkatkan engagement dan mengurangi rasional ignorance (ketidakpedulian yang rasional).

Implikasi keempat: penguatan jejaring mobilisasi — koordinasi partai, ormas, perguruan tinggi, dan komunitas lokal untuk mereplikasi kapilaritas mobilisasi Pileg di level Pilwako; teknik-teknik yang terbukti meningkatkan turnout legislatif dapat diadaptasi untuk pilkada.

Implikasi kelima: pengurangan friksi administratif pada hari H — optimasi lokasi TPS, sistem antrean cerdas (notifikasi), dan mitigasi cuaca/akses (TPS alternatif) menjadi hal praktis yang dapat menyelamatkan suara pemilih.

Dari sisi evaluasi, penting melakukan survei pasca-pilkada yang menanyakan alasan tidak memilih (sampling terfokus di kelompok non-voters 2024). Data ini akan membantu merancang intervensi yang tepat sasaran dan mengukur elastisitas turnout terhadap perubahan kebijakan kampanye.

Kebijakan jangka menengah: memperkuat pendidikan pemilih berbasis sekolah/kampus serta program literasi politik praktis yang menekankan hubungan suara–kebijakan—cara untuk membangun political efficacy secara berkelanjutan.

Jika rekomendasi di atas diterapkan secara simultan, ada peluang menahan dan membalik tren penurunan Pilwako: pengalaman 2018 (80,09%) menunjukkan bahwa peningkatan partisipasi masih memungkinkan melalui mobilisasi efektif dan agenda yang relevan.

Perbaikan Reflektif

Maka dari itu, diperlukan strategi perbaikan yang lebih serius untuk meningkatkan partisipasi pemilih di Kota Gorontalo. Pertama, meningkatkan pendidikan politik berbasis komunitas agar warga memahami pentingnya pilkada dalam menentukan arah pembangunan daerah.

Kedua, memperkuat inovasi kampanye politik, khususnya dengan memanfaatkan teknologi digital yang lebih ramah bagi generasi muda. Kandidat maupun partai harus mampu menawarkan gagasan baru yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Ketiga, penyelenggara pemilu harus melakukan evaluasi terhadap pola sosialisasi dan distribusi informasi, sehingga tidak hanya berpusat pada kelompok tertentu saja. Perlu adanya pendekatan yang inklusif, terutama kepada pemilih pemula dan kelompok marginal.

Keempat, memperkuat kompetisi politik lokal dengan mendorong lahirnya kandidat alternatif yang memiliki kredibilitas dan program jelas. Kompetisi yang sehat dapat meningkatkan partisipasi karena masyarakat melihat adanya pilihan nyata.

Penurunan partisipasi Pilwako 2024 ke 74,17% adalah panggilan untuk refleksi: bukan sekadar statistik, tetapi sinyal bahwa hubungan antara warga dan politik lokal—khususnya soal relevansi kandidat, kualitas mobilisasi, dan pengurangan friksi—perlu diperbaiki. Upaya kolektif penyelenggara, kandidat, partai, dan masyarakat sipil harus diarahkan untuk mengembalikan semangat partisipasi yang substansial di tingkat kota.

Akhirnya, tren partisipasi di Kota Gorontalo harus menjadi pelajaran penting bagi seluruh pemangku kepentingan. Demokrasi yang sehat bukan hanya ditandai dengan tingginya partisipasi pada pemilu nasional, tetapi juga pada level lokal. Pilkada yang partisipatif akan memperkuat legitimasi pemerintahan daerah sekaligus memperkokoh fondasi demokrasi di tingkat akar rumput.