Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan: Pemilih Berdaulat Dimulai dari Data yang Akurat

Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan: Pemilih Berdaulat Dimulai dari Data yang Akurat

Oleh: Ramli Ondang Djau


“Demokrasi tanpa data pemilih yang akurat ibarat karaoke tanpa layar lirik – semua bisa nyanyi, tapi yang keluar bisa ngawur.”

Realitas itulah yang sering menghantui dalam pesta demokrasi lima tahunan: gegap gempita pemilu, tapi data pemilihnya kadang bikin kening berkerut. Bicara soal pemilih berdaulat, sebenarnya ini bukan sekadar jargon keren buat seminar atau bahan postingan medsos. Pemilih yang berdaulat adalah inti dari demokrasi yang sehat. Dalam bahasa akademik, ini nyambung banget sama konsep popular sovereignty alias kedaulatan rakyat, di mana suara rakyat itu bukan hanya simbolik, tapi menentukan.

Sayangnya, di balik semangat itu, kita masih punya “PR” besar: pemutakhiran data pemilih yang berkelanjutan. Ya, ini masalah klasik yang selalu muncul menjelang pemilu. Kadang bikin kita bertanya, "Masa sih tiap pemilu ada aja nama yang dobel, yang sudah almarhum masih terdaftar, atau yang pindah domisili malah gak terdata?.  Daftar pemilih ini bukan barang sakral yang turun dari langit. Dia harus terus diperbarui. Karena orang pindah domisili, ada yang meninggal, ada yang baru genap umur 17 tahun, atau bahkan sudah menikah dan ganti KTP. Ini semua harus masuk dalam sistem. Dan proses ini namanya pemutakhiran data pemilih berkelanjutan.

Kita kadang lupa bahwa demokrasi itu bukan cuma soal nyoblos lima menit di TPS. Demokrasi itu soal pengakuan: bahwa kita “dihitung” sebagai warga negara yang punya suara. Nah, kalau datanya kacau, bisa-bisa suara kita tidak dihitung. Atau malah yang udah almarhum bisa ikut “nyoblos dari alam baka”. Serem, kan? Makanya, pemutakhiran data pemilih ini penting banget. Tapi seringkali kita, sebagai masyarakat, cuma nunggu petugas datang door-to-door. Padahal, zaman sekarang, kita bisa aktif juga. Datang ke kantor KPU, cek data lewat aplikasi atau situs web, bahkan melapor kalau ada data yang salah.

Coba bayangkan, kalau semua orang aktif ngecek datanya masing-masing, partisipatif, dan sadar pentingnya daftar pemilih yang akurat, pasti Pemilu kita jadi jauh lebih tertib dan terpercaya. Lagipula, siapa sih yang pengen dipimpin oleh hasil pemilu yang dasarnya datanya amburadul?

Kita sudah belajar dari banyak pengalaman sebelumnya. Misalnya, ada orang yang terdaftar dua kali di dua TPS berbeda. Ada juga yang udah nikah dan pindah kabupaten tapi masih tercatat di domisili lama. Bahkan ada mahasiswa rantau yang mau nyoblos, eh, ternyata tidak masuk DPT (Daftar Pemilih Tetap) karena lupa lapor. Ujung-ujungnya? Golput deh. Padahal menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, hak pilih itu dijamin negara. Tapi syaratnya satu: terdaftar. Jadi, pemilih berdaulat bukan cuma slogan, tapi harus dimulai dari kesadaran bahwa “didata” itu bagian dari kedaulatan. Menurut studi yang dilakukan oleh LIPI (2020), proses pemutakhiran data pemilih di Indonesia masih belum sepenuhnya berbasis sistem digital yang terintegrasi dengan data kependudukan. Artinya, ada semacam "jarak emosional" antara KPU dan Dukcapil dalam mengelaborasi data secara digital.

Secara teori, data pemilih harus dimutakhirkan secara berkelanjutan (continuous updating). Bahkan dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 14 menyebutkan bahwa pemutakhiran data pemilih itu berkelanjutan artinya proses yang berlangsung sepanjang waktu, bukan hanya saat mendekati pemilu. Setiap periodik Pemilu, ribuan pemilih potensial tidak bisa menggunakan hak pilihnya karena masalah administratif. Ini bukan cuma statistik, tapi cermin betapa pentingnya sistem pendataan yang terus diperbarui dan dikawal bersama. KPU sih kerja siang malam. Tapi kalau masyarakatnya cuek bebek, ya data tetap bisa meleset. Di sinilah pentingnya partisipasi kita. Kita bisa jadi mata dan telinga untuk mengawasi dan melaporkan perubahan data di lingkungan sekitar.

Bahkan, dalam kajian yang dilakukan oleh Perludem (2022), disebutkan bahwa pemutakhiran data pemilih yang melibatkan partisipasi warga terbukti meningkatkan akurasi dan mengurangi potensi sengketa hasil pemilu. Artinya, partisipasi kita itu bukan cuma basa-basi, tapi memang punya dampak nyata.

Lalu, bagaimana caranya kita bisa terlibat? Gampang banget. Pertama, cek nama kita di daftar pemilih lewat situs cekdptonline.kpu.go.id. Kedua, kalau ada perubahan data (alamat, status perkawinan, dll.), langsung lapor ke KPU setempat. Ketiga, edukasi lingkungan sekitar: keluarga, tetangga, teman nongkrong—ajak mereka peduli. Kita juga bisa bantu sosialisasi di media sosial. Postingan sederhana tentang pentingnya pemutakhiran data bisa jadi langkah kecil yang berdampak besar. Ingat, suara kita adalah kekuatan kita. Tapi kekuatan itu bisa sia-sia kalau kita tidak terdaftar.

Jangan tunggu Pemilu mepet baru ribut. Jangan tunggu DPT diumumkan baru panik. Ayo bergerak dari sekarang. Demokrasi yang sehat dimulai dari data yang sehat. KPU tidak bisa bekerja sendiri. Lembaga ini bukan dewa data. Tanpa bantuan kita, pemilih, KPU akan kesulitan membangun daftar pemilih yang komprehensif, akurat, dan mutakhir. Karena itu, ayo jadikan pemutakhiran data ini sebagai gerakan bersama. Ingat, kita bukan cuma objek pemilu. Kita adalah subjek utama dalam demokrasi. Dan sebagai pemilih berdaulat, tugas kita bukan cuma nyoblos, tapi juga menjaga agar sistemnya adil dan bersih dari awal.

Jadi, mulai hari ini, jangan apatis. Cek datamu, update kalau perlu, bantu orang lain juga. Demokrasi itu seperti tanaman. Kalau tidak disiram dan dirawat, ya bakal layu. Begitu juga dengan daftar pemilih. Mari kita kawal hak pilih kita sendiri. Karena satu suara bisa menentukan masa depan daerahmu, kotamu, bahkan negaramu. Jangan sampai suara itu hilang hanya karena datamu ketinggalan update.

Pemutakhiran data pemilih bukan kerja teknis semata, tapi kerja demokrasi. Ini bukan cuma soal angka, tapi soal martabat kita sebagai warga negara. Pemilu itu bukan hanya soal siapa yang menang, tapi bagaimana prosesnya berjalan. Kalau data pemilihnya aja berantakan, maka kedaulatan rakyat bisa jadi formalitas belaka.

Seperti kata Thomas Jefferson, “An educated citizenry is a vital requisite for our survival as a free people.” Nah, pendidikan warga negara dimulai dari hal paling dasar: terdaftar sebagai pemilih secara sah dan benar.

Terakhir, bayangkan kamu udah semangat datang ke TPS, pakai batik, selfie, dan siap nyoblos. Tapi pas dicek... namamu tidak ada. Duh, sakitnya tuh di dompet demokrasi!

Jadi, Yuk kita kawal bareng-bareng. Karena pemilu bukan sekadar pesta lima tahunan. Tapi perwujudan dari suara kita yang berdaulat. Dan itu semua, dimulai dari data yang benar. Demokrasi, bukan hanya siapa yang dipilih yang penting, tapi siapa yang boleh memilih juga harus jelas dan benar

Data kita, suara kita, masa depan kita.