JDIHKPUJEPARA – Bahasa dalam produk hukum terkadang sulit dipahami. Bahkan, multitafsir. Untuk menghindari pembuatan produk hukum seperti itu, KPU Kabupaten Jepara mengikuti Bimbingan Teknis (Bimtek) Legal Drafting Seri III: Tentang Teknis Penulisan Bahasa dalam Peraturan Perundang-Undangan.
Bimtek tersebut digelar oleh KPU Provinsi Jawa Tengah bersama Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah pada Selasa (7/6/2022) secara daring. Bimtek tersebut diikuti ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah dan Kasubbag Hukum dan SDM KPU Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah. Kali ini dengan narasumber Heny Andriana, Perancang Peraturan Perundang-Undangan Muda Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah.
Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Provinsi Jawa Tengah Muslim Aisha mengatakan, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sering kali menyusun keputusan. Dalam menyusun keputusan diperlukan diksi yang tepat, mudah dipahami, dan tidak multitafsir.
Sedangkan, Heny memamparkan terkait pilihan kata atau istilah dan teknik pengacuan. “Bahwa pada dasarnya bahasa peraturan perundang-undangan tetap tunduk pada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan maupun pengejaannya,” paparnya.
Dia menambahkan, bahasa yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan. Selain itu, bercirikan lugas dan pasti; bercorak hemat (sederhana); obyektif dan menekan rasa subyektif; membakukan makna kata-kata; tidak emosi dalam mengungkapkan tujuan atau maksud; memberikan definisi secara cermat tentang nama, sifat atau kategori hal yang didefinisikan; dan untuk tunggal dan jika jamak selalu dirumuskan tunggal.
Perancang Peraturan Perundang-Undangan, imbuhnya, harus secermat mungkin dalam memilih kata atau ungkapan dan menyusun kalimat norma. Secermat mungkin menyesuaikan kalimat dan kata-kata sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia. ”Jika kecermatan tidak dimiliki oleh perancang, dikhawatirkan peraturan yang dihasilkan menimbulkan kebingungan pemakai atau menimbulkan interpretasi lain sehingga kepastian hukum yang diinginkan tidak tercapai,” tegasnya. (tim)