Menelisik Affirmative Action pada Undang-Undang Pemilu

Menelisik pasal Affirmative  Action pada Undang-Undang tentang Pemilu. Ya. Itulah cara yang dilakukan KPU Kabupaten Demak dalam memperingati Hari Kartini di Tahun 2022 ini. Kegiatan yang dikemas dalam kajian regulasi “Kemisan” tersebut dilaksanakan hari ini (21/4), bertempat di Aula KPU Kabupaten Demak. Sebagai pembicara pada kegiatan tersebut adalah Anggota KPU Kabupaten Demak Hastin Atas Asih. Acara diikuti oleh segenap pejabat struktural, fungsional dan staf sekretariat KPU Kabupaten Demak.

Pada kesempatan tersebut Hastin menyampaikan bahwa momentum peringatan Hari Kartini yang dilaksanakan dengan cara menelisik pasal-pasal affirmative action pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017,  selaras dengan upaya keras yang dilakukan RA Kartini pada zaman dahulu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yaitu dengan cara mengajar dan mendirikan sekolah. Dengan belajar bersama dan membahas pasal-pasal affirmative terhadap perempuan, diharapkan akan membuka cakrawala pandang segenap pegawai di Lingkungan KPU Kabupaten Demak. Selain itu dihrapkan pula akan muncul gagasan affirmative action lainnya yang dapat menjadi masukan dalam penyelenggaraan pemilu.

Hastin menyampaikan, sejatinya sejak pemilu pertama 1955, perempuan Indonesia telah memiliki hak pilih. Padahal saat itu, banyak Negara yang mengaku sebagai Negara demokrasi, namun tidak memberikan hak bagi perempuan untuk memilik. Negara Indonesia sendiri telah mengakui bahwa setiap warga Negara, laki-laki maupun perempuan memiliki hak pilih yang sama. Hal demikian tidak hanya diatur dalam UUD 45 dan peraturan perundangan lainnya, namun Indonesia juga mengesahkan instrument hukum internasional sebagai peraturan nasional, yaitu Konvensi mengenai hak-hak politik perempuan. Meskipun upaya pemerintah untuk mengakomodir pemenuhan hak perempuan sudah dilakukan dengan berbagai cara,  namun realitasnya sejak tahun 1945, namun realitasnya keterwakilan perempuan di DPR tetap rendah, dan semakin rendah pada tahun 1999. “Untuk mengakhiri ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam demokrasi, Negara mengatur adanya Tindakan Khusus Sementara dalam peraturan perundang-undangan. Kemudian pada tahun 2000 melalui amandemen kedua UUD 45 dimasukkan Pasal 28D ayat (3) dan 28H yang diharapkan dapat semakin memperkuat dalam upaya affirmative action,” terangnya.

Hastin menambahkan, pada Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terdapat belasan pasal  yang memuat norma  affirmative terhadap perempuan baik yang berkaitan dengan penyelenggara, peserta, dan tim seleksi penyelenggara pemilu. Pasal 10 ayat 7 misalnya,  berbunyi bahwa “komposisi keanggotaan KPU, keanggotaan KPU Provinsi dan keanggotaan KPU kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%”.  Hal tersebut pun berlaku sama untuk badan adhoc di tingkat kecamatan (PPK), desa (PPS) dan TPS (KPPS). Secara berurutan, pasal yang mengatur hal tersebut adalah Pasal 52 ayat 3, Pasal 55 ayat 3 dan Pasal 59 ayat 4. Untuk pengawas pemilu juga diatur di Pasal 92 ayat 11 yang berbunyi “komposisi keanggotaan Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%”.

Terkait peserta pemilu, lanjut Hastin keterwakilan perempuan paling sedikit 30% pda kepengurusan partai politik tingkat pusat diatur sebagai persyaratan yang harus dipenuhi. Pasal 173 ayat 2 huruf e disebutkan bahwa “partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”. Tidak hanya itu, untuk parpol yang ditetapkan sebagai peserta pemilu, dalam mengajukan daftar bakal calon harus memperhatikan bahwa setiap tiga orang bakal calon terdapat paling sedikit 1 orang perempuan bakal calon. Hal ini diatur dalam Pasal 246 ayat. “Sistem ini lebih dikenal dengan zipper system. Melalui sistem ini diharapkan akan dapat menambah jumlah perempuan di legislatif, sehingga dalam proses pengambilan kebijakan merekalah nantinya yang akan mewakili para perempuan dalam pemenuhan haknya.  Jika partai politik tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut, maka bakal calon yang lain akan tercoret dan tidak ada keterwakilan bakal calon di dapil tersebut,” terangnya.