Pemerintah berkomitmen dalam mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan gender dengan terus mendorong tercapainya kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen serta mengikis ketimpangan gender. Upaya dan komitmen tersebut dapat dilihat dari pengaturan tentang partisipasi politik dan keterwakilan perempuan dalam konstitusi dan Undang-Undang. Hal tersebut disampaikan Wahidah Suaib, nara sumber pada acara Rapat Evaluasi Pengawasan Pilkada Serentak Tahun 2020 dengan tema Peran Perempuan Penyelenggara Pemilu dan Pemilihan. Acara yang dibuka Ketua Bawaslu Provinsi Jawa Tengah Fajar Saka dan dihadiri Ketua KPU Provinsi Jawa Tengah Yulianto Sudrajat itu, diselenggarakan di Hotel Atria Magelang (20-21/4). Sebagai nara sumber Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Tengah Anik Sholikhatun, Anggota KPU Provinsi Jawa Tengah Putnawati, dan Anggota Bawaslu RI periode 2008-2012 Wahidah Suaib. Peserta adalah Komisioner KPU dan Bawaslu Kabupaten/Kota perempuan Penyelenggara Pilkada 2020di Jawa Tengah. Pada acara tersebut, Komisioner KPU Kabupaten Demak (Hastin Atas Asih, Nur Hidayah dan Siti Ulfaati) juga hadir.
Disampaikan Wahidah bahwa partisipasi politik dan keterwakilan perempuan diatur dalam konstitusi dan undang-undang. Pertama, di Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28D ayat (3) yang berbunyi setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dala pemerintahan. Kemudian, Pasal 28 H ayat (2) yang berbunyi setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai kebersamaan dan keadilan.
Kedua, di Undang-Undang Pemilu. Beberapa bunyi pasal yang memuat terkait partisipasi politik dan keterwakilan perempuan antara lain, syarat keterwakilan perempuan minimal 30% dalam daftar calon legislatif di semua dapil, syarat keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pengurus partai tingkat pusat sebagai syarat partai mendaftar sebagai peserta pemilu, harus mendapatkan sekurang-kurangnya 1 perempuan pada tiap nama caleg, dalam hal caleg laki-laki dan perempuan yang jumlah suara dan persebaran suaranya sama, maka caleg caleg perempuan yang terpilih. Kemudian, sanksi pembatan sebagai peserta pemilu di dapil yang parpol tidak memenuhi syarat keterwakilan perempuan 30%, Kewajiban KPU dan Bawaslu mengumumkan jumlah keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol dan daftar caleg, Keanggotaan penyelenggara pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan 30%, Kenaggotaan tim seleksi KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan 30%.
Ketiga, di Undang-Undang Partai Politik. Beberapa bunyi pasal juga memuat partisipasi politik dan keterwakilan perempuan adalah keterwakilan minimal 30% % perempuan ditingkat pusat sebagai syarat pendaftaran parpol, keterwakilan minimal 30% perempuan di kepengurusan parpol di semua tingkat, dan alokasi anggaran untuk penguatan partisipasi perempuan dalam pasal yang mengatur tentang bantuan keuangan parpol.
Keempat, di Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Di Undang-undang ini, diatur mengenai pengarusutamaan gender dalam tata tertib dan penganggaran, memperhatikan keterwakilan perempuan dalam komposisi pimpinan DPR, DPD dan DPRD, serta memperhatikan keterwakilan perempuan dalam komposisipimpinan alat kelengkapan DPR, DPD dan DPRD.
Wahidah menyampaikan, dengan pengaturan partisipasi politik dan keterwakilan perempuan seyognyanya para perempuan dapat lebih leluasa dalam turut berpartisipasi di ranah public. Untuk menguatkan perannya, perempuan harus mampu memahami esensi dan urgensi keterlibatannya dalam politik, demokrasi dan pemilu, mampu berprespektif gender dan mampu mengimplementasikan perspekpekstif gender dan keseharian dan dalam pelaksanaan tugas, serta mampu mengimplementasikan gender dalam tataran praktis dan strategis. “Solidaritas antar perempuan juga bisa menjadi kekuatan perubahan, dan mempengaruhi perkembangan masa depan. Tidak hanya untuk perempuan tapi juga kaum pria,” jelasnya.