Soreang, jdih.kpu.go.id/jabar/bandung – Pelanggaran Pemilu terdiri dari pelanggaran kode etik dan pelanggaran administratif. Pelanggaran Pemilu bisa berasal dari temuan hasil pengawasan aktif Bawaslu/Panwaslu dan juga bisa berasal laporan dari masyarakat pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu. Penyelesaian pelanggaran kode etik diselesaikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dengan putusan akhir/sanksi teguran tertulis, pemberhentian sementara bahkan bisa juga pemberhentian tetap. Sedangkan pelanggaran administratif diselesaikan oleh Bawaslu yang dapat diajukan banding ke Mahkamah Agung. Putusan/sanksi dari pelanggaran administratif ini antara lain perbaikan tata cara, prosedur atau mekanisme, teguran tertulis, tidak diikutkan pada tahapan tertentu, pembatalan calon peserta Pemilu ataupun sanksi administratif lainnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, selain pelanggaran Pemilu terdapat juga sengketa proses Pemilu, perselisihan hasil Pemilu dan tindak pidana Pemilu. Sengketa proses Pemilu meliputi sengketa yang terjadi antar-Peserta Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU. Sengketa proses Pemilu diselesaikan oleh Bawaslu dan dapat diajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Putusan sengketa proses bisa dikabulkan atau tidak dikabulkan. Apabila dikabulkan, Keputusan KPU tersebut bisa dibatalkan.
Perselisihan hasil Pemilu diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi dengan jenis putusan terdiri dari permohonan dapat diterima, ditolak atau dikabulkan. Apabila dikabulkan, Keputusan KPU dapat dibatalkan, dapat dilaksanakan penghitungan suara ulang atau pemungutan suara ulang. Pelanggaran Pemilu selanjutnya adalah tindak pidana Pemilu. Tindak pidana Pemilu diputus oleh Pengadilan Negeri dan bisa mengajukan banding ke pengadilan Tinggi. Jenis sanksi tindak pidana Pemilu berupa kurungan dan denda yang sifatnya kumulatif.