Landmark Decision dalam Pemilihan di Indonesia

Landmark Decision dalam Pemilihan di Indonesia
(W. Dani Kusumo)*


   Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan. Putusan adalah mahkotanya hakim. Putusan-putusan brilian seringkali lahir dari ruang sidang, bahkan tanpa diketahui warga masyarakat. Putusan yang lahir dari penemuan hukum dan mempertimbangkan banyak aspek secara mendalam dapat menghadirkan sesuatu yang baru demi keadilan, kepastian, atau kemaslahan hukum.

    Keputusan kebijakan atau putusan kebijakan (Landmark decision) adalah hasil kasus hukum yang menetapkan suatu precedent yang mengubah penafsiran hukum atau menetapkan case law untuk masalah tertentu. Beberapa kasus dalam kategori ini dikenal luas dan dipelajari oleh profesi hukum. Menurut Prof. Mahfud MD, S.H., S.U., Landmark decision adalah putusan yang dibuat sebagai precedent karena tidak ditampung oleh peraturan yang ada atau putusan yang menyimpang dari UU karena diperlukan demi keadilan dan putusan itu diterima oleh publik dalam penerapan hukum.  

    Prof. Mahfud MD, S.H., S.U., merumuskan sepuluh rambu dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi tetapi karena kebutuhan lapangan tidak semua dalil tersebut bisa dilaksanakan. Jika dilaksanakan bisa menghambat penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Artinya diperlukan adanya  landmark decision untuk keperluan penegakan hukum dan keadilan di lapangan. Kesepuluh rambu tersebut adalah:  
1. MK adalah negative legislator. Tetapi dalil ini tidak bisa berlaku karena kemudian bisa menjadi positif dengan dua alasan: Pertama, kalau bisa terjadi kekosongan hukum; Kedua, terbatas sampai ada revisi UU. Produknya: conditionally constitutional.
2. MK tidak boleh membuat ultra petita. Tetapi di lapangan hal itu tak mungkin kalau pasal yang dibatalkan adalah pasal jantung.
3. MK tidak boleh menjadikan UU sebagai dasar pengujian atau dasar pembatalan UU. Tetapi, dalam praktik, jika ada dua atau lebih UU yang saling  bertentangan bisa diputus karena ketidakpastian hukum.
4. MK tidak boleh membuat opini atau menilai UUD. UUD harus ditegakkan meski materinya sedang diperdebatkan.
5. MK tidak boleh mencampuri opened legal policy (sesuatu yang oleh konstitusi didelegasikan dan diatribusikan kepada lembaga legislatif).
6. MK tidak boleh mendasarkan putusan pada teori tertentu karena teori belum tentu dianut di dalam resultante.
7. MK tidak boleh melanggar nemo judex in causa sua: sejauh menyangkut kewenangan pribadi tidak boleh, tetapi pengebirian institusi boleh diadili.
8. MK tidak boleh berbicara atau mengemukakan opini kepada publik tentang kasus yang sedang ditangani.
9. MK tidak boleh mencari-cari perkara, menyuruh orang membawa masalah ke MK.
10. MK tidak boleh menawarkan diri untuk menyelesaikan konflik di luar pengadilan.

    Dalam bidang pemilihan umum landmark decision yang dikeluarkan oleh MK adalah terkait penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah yang semula tidak disamakan dengan Pemilu tetapi kemudian disamakan dengan Pemilu sebagaimana diatur di dalam Pasal 22D UUD 1945 karena memenuhi unsur langsung, umum, bebas, dan rahasia. Berdasar putusan MK itu maka sejak November tahun 2008 istilah Pilkada bergeser menjadi Pemilukada. Selanjutnya dalam memutus sengketa-sengkata pemilukada  MK juga membuat landmark decision yang sangat fundamental yakni adanya kriteria pelanggaran yang bisa membatalkan hasil pemilukada yakni kriteria Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM).   

    Landmark decision didasarkan  pada upaya untuk menegakkan keadilan substantif melalui penerapan hukum progresif. Hukum Progresif itu simple: hukum lama yang didinamisir. Yakni hukum ketika hakim membuat putusan-putusan berdasar keyakinannya sendiri tetapi tidak ada hukum tertulis sebagai pedoman abstraknya. Itulah yang mendasari hukum-hukum Anglo Saxon yang sistemnya disebut Common Law System. Tekanannya, hakim diberi kewenangan untuk menggali keadilan menurut kreativitas dan keyakinannya sendiri sehingga putusan antar satu hakim dengan hakim yang lain bisa berbeda-beda, apalagi tempat dan waktunya juga berbeda.  

Landmark Decision TSM dalam  Pemilukada 

    Meskipun berdasarkan UU yang terbaru (UU No. 1 Tahun 2015, terakhir diubah dengan UU No. 10 Tahun 2016) peradilan perselisihan hasil pemilukada akan dilakukan oleh peradilan tersendiri, namun ada tiga alasan untuk tetap menjadikan pengalaman dan praktik peradilan pemilukada oleh MK sebagai referensi utama dalam mengantisipasi problem-problem sosial, politik, dan hukum terutama terkait dengan landmark decision MK dalam sengeketa hasil pemilu, termasuk Pemilukada. 

    Ketiga alasan tersebut adalah: Pertama, baik ditangani oleh MK maupun oleh lembaga peradilan khusus materi sengketa dan masalah-masalah yang akan timbul dalam perselisihan hasil pemilukada, baik substansial maupun prosedural, akan tetap berkisar pada masalah-masalah yang sama dengan masa lalu yakni saat ditangani oleh MK. Kedua, bentuk peradilan perkara hasil pemilukada menurut UU yang terbaru (UU No. 1 Tahun 2015, terakhir diubah dengan UU No. 10 Tahun 2016) formatnya sangat tidak jelas, lebih kabur dibandingkan dengan yang sudah berjalan sehingga tidak dapat segera dioprasionalkan. Itulah sebabnya MA pernah menyatakan keberatan untuk mengadili perkara pemilukada sebagaimana digagas dalam Perpu yang kemudian diterima menjadi UU tersebut, sedangkan Mendagri Tjahjo Kumolo, pada saat pengesahan Perppu menjadi UU No. 1 Tahun 2015 tersebut menyatakan bahwa Pemerintah dan DPR menyepakati akan membentuk badan peradilan khusus pemilukada tersebut paling lambat tahun 2027 tetapi dia mengaku belum tahu bentuknya  dan masih akan menunggu masukan dari MK dan MA. Ketiga,  untuk pemilukada serentak yang akan datang dan untuk selanjutnya sampai paling lambat tahun 2027 penanganan perselisihan hasil pemilukada tetap ditangani oleh MK. Oleh sebab itu masalah-masalah yang diangkat dari pengalaman MK di bawah ini tetap sangat penting untuk dijadikan bahan pembuatan mekanisme penyelesaian perselisihan pemilukada pada masa-masa yang akan datang. Meskipun beban MK saat ini jauh lebih terbatas karena untuk bisa diterima sebagai perkara selisihnya ditentukan dalam batas maksimal yang sangat kecil (2%) tetapi pengalaman MK tetap dapat dijadikan kisi-kisi atau rujukan dalam penyelenggaraan pemilukada dan rujukan oleh Bawaslu dalam melakukan pengawasan. 

    Misalnya, ada dua putusan penting (landmark decisions) berkaitan dengan hak pilih dan persyaratan menggunakan hak pilih. Pertama, putusan yang memulihkan hak pilih bekas anggota PKI, dan kedua, penggunaan hak pilih dengan KTP atau paspor meski tidak terdaftar dalam DPT. Ini bisa dilihat dalam putusan MKNo.011-017/PUU-I/2003 yang menghapus Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003 dan putusan MK No. 102/PUU-VII/2009 yang menyatakan Pasal 28 dan Pasal 111 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres secara konstitusional bersyarat.   

    “Putusan MK terhadap Pilkada Jawa Timur beberapa tahun lalu yang menjadi persaingan antara Khofifah Indarparawansa dengan Soekarwo termasuk landmark decision. Putusan ini termasuk membuat sejarah. Sebelum putusan ini dijatuhkan, dalam persidangan muncul argumentasi-argumentasi Khofifah mengenai jalannya Pilkada Jatim. Saat itulah ia memunculkan istilah TSM, yakni terstruktur, sistematis, masif mengenai pelanggaran pilkada. Istilah ini terus dikenal sampai sekarang,” ungkap Jimly Asshiddiqie yang juga menyebutkan putusan MK terhadap UU Antiteroris termasuk landmark decision yang beritanya sangat meluas, bahkan mendunia.  

   Dijelaskan Jimly, di Inggris putusan bersejarah atau di Amerika dikenal dengan nama landmark decision, disebut dengan leading case atau kasus yang memimpin. Umumnya kasus-kasus dengan putusan bersejarah ini mengubah kebiasaan, kelaziman, konvensi. “Putusan-putusan yang membuat sejarah atau landmark decision inilah yang mengubah praktik bernegara di Indonesia,” ujarnya.  

 
 
Daftar Pustaka
- Makalah Moh. Mahfud MD, “Landmark Decisions Mahkamah Konstitusi”, Bimtek Pemilukada, 1 November 2017     di Pusdiklat MK-RI, Cisarua, Bogor.
- Makalah Moh. Mahfud MD, “Pemilukada dan Pelanggaran TSM”, Lokakarya Bawaslu, 5 Juni 2016 di Jakarta.
- Disertasi, Janedjri M.Gaffar, “Rekontruksi Kewenangan MK dalam Menangani Perkara Pemilu untuk Mewujudkan     Pemilu yang Demokratis dalam Perspektif Hukum Progresif”, Mei 2013, di Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas   Diponegoro Semarang.
- Makalah Jimly Asshiddiqie, “Mahkamah Konstitusi dan Putusan-Putusan Landmark di Bidang Pilkada”, Bimtek       Pemilukada, 10 Oktober 2016, di Pusdiklat MK-RI, Cisarua, Bogor.
 
*Penulis adalah Staf Sub Bag. Hukum KPU Kota Yogyakarta