Jangan Ekploitasi SARA untuk Menang Pilkada Serentak 2017

Oleh : Sulaiman

 

Isu SARA merebak akhir-akhir ini, di  masa pencalonan Pilkada DKI Jakarta 2017. Diskusi di media ramai memperbincangkannya. Aksi saling laporpun tidak terhindarkan. Kegaduhan yang terjadi dikawatirkan mengancam Pilkada serentak yang  aman dan damai.

 

Menanggapi maraknya isu SARA menjelang Pilkada serentak 2017, Ketua Komisi Pemilihan Umum Juri Ardiantoro mengingatkan para kandidat calon kepala daerah dan tim pendukungnya untuk tak mengeksploitasi isu terkait SARA untuk kepentingan apapun.

 

Eksploitasi isu SARA untuk kepentingan apapun tidak boleh,” kata Juri Ardiantoro, di Jakarta, Menurut Juri Ardiantoro, isu SARA sangat berpotensi memunculkan kegaduhan dan konflik horizontal di masyarakat. “Ini saya kira tidak produktif dan tidak bagus dalam rangka membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang beradab,” kata dia. “Sepanjang mereka belum ditetapkan sebagai calon, seyogianya mereka tidak lagi mengeksploitasi isu SARA untuk mensosialisasikan atau menyerang orang lain,” lanjut Juri. Ia berharap, suasana damai dan aman bisa tetap dipelihara dalam Pilkada Serentak 2017. “Jadi ini harapan kita semua sehingga menjelang kampanye ini kita bisa memelihara suasana yang aman dan tidak gaduh,” kata Juri Ardiantoro.

 

Seharusnya isu SARA seperti itu tidak ada lagi jika kita menjiwai semangat sumpah pemuda. Sumpah pemuda adalah puncak sejarah kesadaran dan semangat Nasionalisme akan ke-Indonesiaan kita yang dikumandangkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah pemuda merupakan roh pemersatu Nusantara yang menjadi roda penggerak semangat pemersatu menuju tujuan bersama mencapai Indonesia Merdeka dari cengkraman kolonialisme.

 

Bercerita sejarah sumpah pemuda (dikutip dari Victor Silaen, 2015) mulai dari Jalan Kramat 106 Jakarta, pada tanggal 28 Oktober 1928 para pejuang pemuda saat itu mengumandangkan sumpah yang kemudian kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Teks sumpah pemuda yang digelorakan saat itu berbunyi:

Pertama: “kami poetra dan poetri indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe tanah indonesia”. Kedua: “kami poetra dan poetri indonesia, mengakoe berbangsa satoe bangsa indonesia”. Ketiga: “kami poetra dan poetri indonesia, mengakoe mendjoendjoeng bahasa persatoean bahasa indonesia”.

 

Sejak itu berdirilah organisasi-organisasi baru. Di Bandung, para pemuda yang tergabung dalam kelompok studi umum mendirikan organisasi Jong Indonesia pada 20 Februari 1927. Organisasi ini dimotori oleh Mr Sunario, RM Joesoepadi Ganoehadiningrat, Soegiono, dan Mr Sartono. Kemudian berdiri pula Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927, dengan tokoh utamanya Ir Soekarno, serta Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 17 Desember 1927.

 

Sebelumnya berdiri Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia) pada 7 Maret 1915 dengan motor utama Satiman Wirjosandjojo. Lalu Jong Sumatranen Bond pada 9 Desember 1917 dengan tokoh utama Tengkoe Mansoer, Muhammad Anas, Abdul Moenir Nasution, Kamun, dan Muhammad Amir. Sementara di Belanda sendiri Indische Vereeniging berubah menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) pada 1 Maret 1924 dengan tokoh utama Mohammad Hatta. Akan halnya Tri Koro Dharmo, pada kongres pertama di Solo, 12 Juni 1918, berubah menjadi Jong Java.

 

Kongres Pemuda II membicarakan masalah peranan pendidikan kebangsaan dan kepanduan dalam menumbuhkan semangat kebangsaan. Tampil sebagai pembicara saat itu adalah Muhammad Yamin, Purnamawulan, Sarmidi Mangunsarkoro, Ramlan, Theo Pangemanan, dan Mr Soenario. Walaupun mendapat gangguan dari Polisi Rahasia Belanda, kongres tersebut berhasil membuahkan keputusan yang sangat fenomenal, yaitu Sumpah Pemuda. Pada saat yang sama diperkenalkan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman, yang kemudian dijadikan lagu kebangsaan Indonesia.

 

Petikan sejarah di atas dapat kita rasakan bagaimana semangat kebangsaan para pendiri bangsa saat itu. Kesadaran kolektif kebangsaan saat itu adalah sebuah momentum kelahiran Indonesia sebagai bangsa secara politik. Benih-benih kebangsaan ini telah bersemayam sekian ratus tahun lamanya. Bangsa baru telah lahir sejak 28 Oktober 1928 menjadi modal dasar semangat menggapai cita-cita bersama. Sumpah pemuda Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa yaitu Indonesia menjadi pilar tekad bulat para pendiri bangsa yang terus kita warisi sebagai landasan berpijak dimasa sekarang dan dimasa depan.

 

Momentum Hari Sumpah Pemuda tahun ini yang bertepatan dengan pelaksanaan tahapan Pilkada Serentak 2017 tentu memiliki makna tersendiri untuk menjiwai semangat merawat demokrasi. Merawat Demokrasi dengan semangat sumpah pemuda perlu disemai di setiap sanubari insan bangsa, agar tidak terjebak pada kepentingan sesaat. Kesadaran itu terpatri pada setiap perhelatan pemilu atau pilkada yang merupakan pengejawantahan proses demokrasi.

 

Kalau kita melihat kebelakang saat awal-awal masa reformasi saat dilangsungkannya pemilu legislatif, pemilu presiden maupun pilkada, semangat kebebasan saat itu sering lepas kontrol sehingga tak jarang berujung pada anarkis. Semangat kebebasan yang diterjemahkan dalam setiap tindakan sebagai bagian dari demokrasi sering kali berujung bentrok demi memperjuangkan kepentingan sesaat. Demokrasi saat itu cenderung disalah artikan sebagai kebebasan tanpa aturan sehingga saat itu muncul istilah Demo Crazy. Tindakan-tindakan anarkis saat itu justru mencederai demokrasi itu sendiri.

 

Perjalan demokrasi kita merupakan perjalanan sejarah kebangsaan kita yang merupakan eksperimeng demokrasi kita. Seiring berjalannya waktu rupanya kesadaran masyarakat mulai meningkat. Pelaksanaan pemilu-pemilu akhir-akhir ini sudah sangat jarang adanya gesekan-gesekan yang mengarah tindakan anarkis. Pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014, Pemilu Presiden 2015, kemudian Pilkada serentak 2015 kejadian anarkis yang mengkawatirkan hampir tidak ada.

 

Sungguh menunjukan kedewasaan cara berdemokrasi kita telah dibuktikan oleh Bangsa Indonesia.  Namun walaupun demikian kewaspadaan harus tetap kita jaga. Gesekan yang mengarah kepada SARA sangat mudah meletup bila kita tidak dewasa menyikapinya. Isu SARA sering digunakan sebagai senjata ampuh untuk memenangi persaingan tentu sangat jauh dari semangat Demokrasi itu sendiri.

 

Demokrasi harus dirawat sehingga berdaya menghadapi ini dengan momentum sumpah pemuda sebagai pilar penyangga keberlangsungannya.

Semangat sumpah pemuda adalah landasan terjadinya integrasi nasional yang terbangun sampai saat ini merekat kesana. Semangat sumpah pemuda adalah landasan terjadinya integrasi nasional yang terbangun sampai saat ini merekat kesadaran sebagai satu bangsa. Integrasi nasional dapat berjalan seiring dengan kebebasan rakyat secara politik.

 

Suatu saat Indonesia bisa menjadi Negara maju yang disegani sekaligus menjadi Negara yang dewasa berpolitik. Kualitas demokrasi kita terus kita tingkatkan dengan menyemai semangat sumpah pemuda secara terus menerus melalui berbagai cara sesuai jamannya.  Apabila hal ini kita lakukan demokrasi kita semakin modern, sekaligus integrasi kita sebagai bangsa semakin kuat dengan semangat sumpah pemuda 28 Oktober 1928.

 

Dengan semangat sumpah pemuda semua orang memiliki hak yang sama dalam berdemokrasi. Latar belakang identitas tertentu tidak bisa membatasi seseorang untuk dapat menjadi kepala daerah. Betapa moderennya demokrasi kita jika perdebatan yang muncul jelang Pilkada adalah adu ide dan adu program ketimbang mengandalkan hal-hal bersifat identitas primordial. Mari kita sukseskan dan kita kawal Pilkada Serentak 2017 dengan semangat sumpah pemuda sehingga menjadikan warisan Demokrasi yang indah dan moderen untuk generasi berikutnya. []