Black Campaign 
(W. Dani Kusumo)*


Black campaign adalah suatu model atau perilaku atau cara berkampanye yang dilakukan dengan menghina, memfitnah, mengadu domba, menghasut atau menyebarkan berita bohong yang dilakukan oleh seorang calon atau sekelompok orang atau partai politik atau pendukung seorang calon terhadap lawan atau calon lainnya

Ada juga definisi lainnya, yaitu penggunaan metode rayuan yang merusak, sindiran atau rumor yang tersebar mengenai sasaran kepada para kandidat atau calon kepada masyarakat agar menimbulkan presepsi yang dianggap tidak etis terutama dalam hal kebijakan publik. Komunikasi ini diusahakan agar menimbulkan fenomena sikap resistensi dari para pemilih, kampanye hitam umumnya dapat dilakukan oleh kandidat atau calon bahkan pihak lain secara efisien karena kekurangan sumber daya yang kuat untuk menyerang salah satu kandidat atau calon lain dengan bermain pada permainan emosi para pemilih agar pada akhirnya dapat meninggalkan kandidat atau calon pilihannya.

Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai black campaign, sebaiknyan kita pahami pengertian dari kampanye terlebih dahulu. Dalam Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Kampanye Pemilihan, yang selanjutnya disebut Kampanye, adalah kegiatan menawarkan visi, misi, dan program Pasangan Calon dan/atau informasi lainnya, yang bertujuan mengenalkan atau meyakinkan Pemilih.

Awalnya kita tak kenal apa itu black campaign, namun sejak Pemilu 2004 lalu dimana salah seorang capres ada yang mengecam black campaign, kemudian mulai ramailah istilah tersebut. Secara sederhana kita sudah bisa menterjemahkan arti black campaign dari kata-kata yang tersusun sebagai kampanye hitam. Hitam disini mewakili sebuah istilah yang buruk, jelek, intinya patut dijauhi. Selanjutnya didalam penggunaannya diartikan kampanye menjelek-jelekkan lawan politik. Namun sebenarnya juga dapat diartikan sebagai kampanye yang buruk.

Bagaimana DPR RI menanggapi masalah black campaign ini? Komisi II DPR RI terus mendorong Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membuat aturan yang mengatur tentang perang argumen antar pendukung pasangan calon yang tersebar di berbagai media maupun media sosial. "Kita memang mendorong supaya dan ini sudah menjadi praktek, melarang black campaign. Konten-konten sosmed yang melakukan black campaign," kata Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy. Menurutnya, sejauh ini aturan kampanye hitam hanya menyasar akun-akun resmi yang memang sudah terdaftar. Sedangkan akun liar tidak diatur oleh Bawaslu dan KPU, karenanya, dalam PKPU maupun rancangan peraturan Bawaslu ini kami sepakat bahwa akun-akun sosmed yang digunakan resmi paslon harus resmi terdaftar. "Kita nggak bisa menata sampai ke akun-akun yang liar, tetapi perlu exercise dalam bentuk lain, sehingga kita bisa mengantisipasi perang black campaign," tutur Lukman Edy.

Pasal 66 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2015, dalam kampanye dilarang: 
a. mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati, Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota, dan/atau Partai Politik;
c. melakukan Kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat;
d. menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau Partai Politik;
e. mengganggu keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum;
f. mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah;
g. merusak dan/atau menghilangkan Alat Peraga Kampanye;
h. menggunakan fasilitas dan anggaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
i. melakukan kegiatan Kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota;
j. menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan; dan
k. melakukan pawai yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya.

Kemudian dalam Pasal 70 dijelaskan sanksinya, antara lain:
(1) Pelanggaran atas larangan ketentuan pelaksanaan Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf i dikategorikan sebagai tindak pidana dan dikenai sanksi berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelanggaran atas larangan ketentuan pelaksanaan Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf j dan huruf k dikenai sanksi: 
a. peringatan tertulis walaupun belum menimbulkan gangguan; dan/atau
b. penghentian kegiatan Kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau di suatu daerah yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah Pemilihan lain.

Menurut Pimpinan Bawaslu DIY, Divisi Penindakan Pelanggaran, Sri R. Werdiningsih, potensi pelanggaran dalam kampanye antara lain; Money Politics, penggunaan fasilitas negara, mobilisasi PNS dan perangkat desa, black campaign, kampanye di luar jadwal, penggunaan tempat ibadah, lembaga pendidikan dan kantor pemerintah untuk kampanye, dan pemasangan APK tidak sesuai dengan aturan.

Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Agung Suprio, menjelaskan perbedaan antara kampanye hitam (black campaign) dengan kampanye negatif (negative campaign). Agung menuturkan saat ini masih sering terjadi salah persepsi pengertian antara kampanye hitam dan kampanye negatif. Padahal keduanya memiliki pengertian yang sangat berbeda. Ia menjelaskan kampanye hitam biasanya hanya tuduhan tidak berdasarkan fakta dan merupakan fitnah. Sementara kampanye negatif, adalah pengungkapan fakta kekurangan mengenai suatu calon atau partai. "Kampanye negatif biasanya berisi pengungkapan fakta yang disampaikan secara jujur dan relevan menyangkut kekurangan suatu calon atau partai. Sedangkan kampanye hitam berisi tuduhan dan cenderung merusak demokrasi. Kampanye hitam biasanya tidak memiliki dasar dan fakta, fitnah dan tidak relevan diungkapkan terkait parpol maupun tokoh," tambahnya.


*Penulis adalah Staf Sub Bag. Hukum KPU Kota Yogyakarta