disadur dari laman Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Perubahan batas minimal usia Bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden
Polemik batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) berakhir dengan diputusnya permohonan yang diajukan oleh Mahasiswa Universitas Surakarta Almas Tsaqibbirru dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam putusan tersebut, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang
menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membacakan putusan pada Senin (16/10/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Mahkamah berpendapat pengisian jabatan publik in casu Presiden dan Wakil Presiden perlu melibatkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan pengawasan kebijakan nasional, terdapat jabatan publik yang syarat usia pencalonannya 40 tahun (Presiden dan Wakil Presiden) dan di bawah 40 (empat puluh) tahun yang sama-sama dipilih melalui pemilu seperti jabatan Gubernur (30 tahun), Bupati, dan Walikota (25 tahun), serta anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD (21 tahun). Namun demikian, terkait dengan jabatan Presiden dan Wakil Presiden meskipun juga dipilih melalui pemilu, namun karena terkait usia calon Presiden dan Wakil Presiden merupakan bagian dari yang dimintakan pengujian konstitusionalitasnya, maka jabatan Presiden dan Wakil Presiden menurut batas penalaran yang wajar kurang relevan untuk disangkutpautkan dengan hanya syarat usia calon Presiden dan Wakil Presiden.
“Artinya, Presiden dan Wakil Presiden yang pernah terpilih melalui pemilu dengan sendirinya seyogianya telah memenuhi syarat usia untuk jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam rangka mewujudkan partisipasi dan calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman, Mahkamah menilai bahwa pejabat negara yang berpengalaman sebagai anggota DPR anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati dan Walikota sesungguhnya layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional in casu sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilihan umum meskipun berusia di bawah 40 tahun,” terang Guntur.
Artinya, Guntur melanjutkan jabatan-jabatan tersebut merupakan jabatan publik dan terlebih lagi merupakan jabatan hasil pemilu yang tentu saja didasarkan pada kehendak rakyat (the will of the people) karena dipilih secara demokratis. Pembatasan usia minimal 40 (empat puluh) tahun semata (an sich) tidak saja menghambat atau menghalang perkembangan dan kemajuan generasi muda dalam kontestasi pimpinan nasional, tapi juga berpotensi mendegradasi peluang tokoh figur generasi milenial yang menjadi dambaan generasi muda, semua anak bangsa yang seusia generasi milenial.
“Artinya, usia di bawah 40 tahun sepanjang pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials) seyogianya dapat berpartisipasi dalam kontestasi calon Presiden dan Wakil Presiden. Jabatan-jabatan dimaksud merupakan jabatan yang bersifat elected officials, sehingga dalam batas penalaran yang wajar pejabat yang menduduki atau pemah menduduki jabatan elected officials sesungguhnya telah teruji dan telah diakui serta terbukti pernah mendapatkan kepercayaan dan legitimasi rakyat, sehingga figur/orang tersebut diharapkan mampu menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik in casu presiden atau wakil presiden,” papar Guntur.
Guntur menyampaikan andaipun seseorang belum berusia 40 tahun namun telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilu (anggota DPR anggota DPD, anggota DPRD, Gubemur, Bupati, dan Walikota) tidak serta-merta seseorang tersebut menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sebab, masih terdapat dua syarat konstitusional yang harus dilalui yakni syarat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai dan syarat dipilih secara langsung oleh rakyat. Sehingga, meskipun seseorang yang telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara, namun tidak diusung atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, maka sudah tentu tidak dapat menjadi calon Presiden daniatau Wakil Presiden. Selanjutnya, seandainya seseorang diusung atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, maka mereka tentu harus melewati syarat konstitusional berikutnya, yaitu Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia minimal 40 (empat puluh) tahun tetap dapat diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden.
“Sedangkan, bagi bakal calon yang berusia di bawah 40 tahun tetap dapat diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden sepanjang memiliki pengalaman pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai pejabat yang dipilih melalui pemilu in casu anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, atau Walikota, namun tidak termasuk pejabat yang ditunjuk (appointed officials), seperti penjabat atau pelaksana tugas dan sejenisnya. Bagi pejabat appointed officials semata, dapat diajukan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden melalui pintu masuk yaitu berusia 40 tahun,” ujar Guntur.
Guntur melanjutkan, menurut Mahkamah, meskipun terdapat syarat alternatif berupa pengalaman pemah atau sedang menduduki jabatan sebagai pejabat yang dipilih melalui pemilu (elected officials) bagi calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia di bawah 40 tahun, syarat tersebut tidak akan merugikan calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia 40 tahun ke atas. Karena, syarat usia dalam kandidasi Presiden dan Wakil Presiden harus didasarkan pada prinsip memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give opportunity and abolish restriction) secara rasional, adil, dan akuntabel. Sehubungan dengan hal tersebut. penting bagi Mahkamah untuk memastikan kontestasi pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tanpa terhalangi oleh syarat usia 40 (empat puluh) tahun semata.
“Oleh karena itu, terdapat dua ‘pintu masuk’ dari segi syarat usia pada norma Pasal 169 huruf q UU7/2017, yaitu berusia 40 tahun atau pemahisedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu. Pemenuhan terhadap salah satu dari dua syarat tersebut adalah valid dan konstitusional Syahdan, "idu geni" istilah yang acapkali disematkan pada putusan Mahkamah telah ditorehkan sebagaimana termaktub dalam amar dan pertimbangan hukum putusan ini. Artinya, melalui putusan a quo Mahkamah sejatinya hendak menyatakan bahwa dalam perkara a quo yakni dalam kaitannya dengan pemilu Presiden dan Wakil Presiden, prinsip memberi kesempatan dan menghilangkan pembatasan harus diterapkan dengan jalan membuka ruang kontestasi yang lebih luas, adil, rasional, dan akuntabel kepada putera-puteri terbaik bangsa, termasuk generasi milenial sekaligus memberi bobot kepastian hukum yang adil dalam bingkai konstitusi yang hidup (living constitution). Dengan demikian apabila salah satu dari dua syarat tersebut terpenuhi, maka seorang Warga Negara Indonesia harus dipandang memenuhi syarat usia untuk diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden,” tandas Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makassar tersebut.
Guntur melanjutkan, berkenaan dengan petitum Pemohon yang pada pokoknya meminta Mahkamah untuk memberikan pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten Kota. Terhadap hal tersebut, Mahkamah menilai meskipun serangkaian pertimbangan hukum Mahkamah di atas berkesesuaian dan dapat menjawab isu yang dikemukakan Pemohon, namun pemaknaan yang tepat untuk mewujudkan pokok pertimbangan hukum tersebut tidak sepenuhnya dapat dilakukan dengan mengikuti rumusan pemaknaan yang dikehendaki oleh Pemohon. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan petitum Pemohon pada petitum pilihan pengganti yaitu "ex aequo et bono" yang tertera dalam petitum permohonan Pemohon, serta demi memenuhi kepastian hukum yang adil, maka menurut Mahkamah pemaknaan yang tepat untuk rumusan norma a quo adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pemahsedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Dengan demikian, sambung Guntur, karena jabatan kepala daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten kota saat ini paradigmanya adalah jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, sehingga selengkapnya norma a quo berbunyi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan daerah". Lebih lanjut, ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya. Hal ini penting ditegaskan Mahkamah agar tidak timbul keraguan mengenai penerapan Pasal a quo dalam menentukan syarat keterpenuhan usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana rumusan dalam amar putusan a quo.
Oleh karena itu, jelas Guntur, terhadap pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa dalam hal terdapat dua putusan yang menyangkut isu konstitusionalitas yang sama namun karena petitum yang tidak sama dalam beberapa putusan sebelumnya dengan perkara a quo sehingga berdampak pada amar putusan yang tidak sama, maka yang berlaku adalah putusan yang terbaru. Artinya, putusan a quo serta merta mengesampingkan putusan sebelumnya. Ihwal pemahaman ini sejalan dengan asas lex posterior derogat legi priori. Dengan demikian, tafsir konstitusional dalam putusan a quo mengesampingkan putusan yang dibacakan sebelumnya dalam isu konstitusional yang sama, dan putusan a quo selanjutnya menjadi landasan konstitusional baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang berlaku sejak putusan ini selesai diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut diatas, ternyata norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 telah jelas menimbulkan ketidakadilan yang intolerable. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 haruslah dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak memenuhi pemaknaan yang akan dituangkan dalam amar putusan a quo. Dengan demikian, pemaknaan Mahkamah tersebut tidak sepenuhnya mengabulkan permohonan Pemohon secara keseluruhan, sehingga permohonan Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian,” tandas Guntur.
Dalam Putusan tersebut, tiga hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dan dua hakim konstitusi menyatakan alasan berbeda (concurring opinion). Tiga hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda, yakni Wakil Ketua MK Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. Ketiganya menilai seharusnya Mahkamah menolak permohoan Pemohon.
Saldi di awal pendapatnya menyebut Putusan Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 sebagai peristiwa “aneh” yang “luar biasa” dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat.Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUUXXI/2023, Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.
“Padahal, sadar atau tidak, ketiga Putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari. Perubahan demikian tidak hanya sekadar mengenyampingkan Putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat. Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?” ungkap Guru Besar FH Universitas Andalas tersebut.
Selanjutnya Saldi mengungkapkan, kronologis proses putusan serta komposisi hakim konstitusi dalam memutus perkara tersebut. Secara keseluruhan terdapat belasan permohonan untuk menguji batas minimal usia calon Presiden dan Wakil Presiden dalam norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu, yang terbagi menjadi dua gelombang; tiga perkara di atas (Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023) adalah permohonan atau perkara gelombang pertama, sedangkan Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 termasuk perkara gelombang kedua. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk memutus Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 pada tanggal 19 September 2023, RPH dihadiri oleh delapan Hakim Konstitusi tanpa dihadiri Ketua MK Anwar Usman. Hasilnya, enam Hakim Konstitusi, sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023, sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi lainnya memilih sikap berbeda (dissenting opinion).
Pada RPH berikutnya, sebut Saldi, beberapa hakim konstitusi yang dalam Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 telah memosisikan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (opened legal policy), tiba-tiba menujukkan “ketertarikan” dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Padahal, meski model alternatif yang dimohonkan oleh Pemohon dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023. Belum lagi adanya fakta, para Pemohon Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 sempat menarik permohonannya dan kemudian sehari setelahnya membatalkan kembali penarikan tersebut. Dengan adanya kejadian tersebut, tidak ada pilihan selain Mahkamah harus mengagendakan sidang panel untuk mengonfirmasi surat penarikan dan surat pembatalan penarikan kepada para Pemohon. Saldi membeberkan misteri pembatalan penarikan tersebut yang hanya berselang satu hari, sebagian Hakim Konstitusi yang 97 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 berada pada posisi Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kemudian “pindah haluan” dan mengambil posisi akhir dengan “mengabulkan sebagian” Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Saldi juga menyoroti mengenai amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Ia memaparkan bahwa lima Hakim Konstitusi yang berada dalam gerbong “mengabulkan sebagian” ternyata terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu tiga Hakim Konstitusi sepakat memadankan atau membuat alternatif usia 40 tahun dengan “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi yang lain memaknai petitum Pemohon hanya sebatas “pernah menjabat atau sedang menjabat sebagai gubernur”. Tidak berhenti sampai di situ, dua Hakim Konstitusi dimaksud masih tetap mempertahankan prinsip “opened legal policy” dalam menentukan kriteria jabatan gubernur yang dapat disepadankan atau dialternatifkan tersebut. Ia menyampaikan pilihan jabatan publik berupa elected official termasuk pemilihan kepala daerah, kelimanya berada pada titik singgung atau titik arsir jabatan gubernur. Oleh karena itu, seharusnya amar putusan lima Hakim Konstitusi yang berada dalam gerbong “mengabulkan sebagian” adalah jabatan gubernur. Dengan pilihan amar memaknai Pasal 169 huruf q UU 7/2017 menjadi “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” seharusnya tertolak atau tidak terterima oleh makna “mengabulkan sebagian”.
Selain itu, Saldi menekankan pembentuk undang-undang secara eksplisit menyampaikan dan memiliki keinginan yang serupa dengan para Pemohon, sehingga perubahan ataupun penambahan terhadap persyaratan bagi calon presiden dan wakil presiden tersebut sudah selayaknya dilakukan melalui mekanisme legislative review dengan cara merevisi Undang-Undang yang dimohonkan oleh para Pemohon, bukan justru melempar “bola panas” ini kepada Mahkamah. Sayangnya, hal yang sederhana dan sudah terlihat dengan jelas sifat opened legal policy-nya ini, justru diambil alih dan dijadikan “beban politik” Mahkamah untuk memutusnya.
“Jika pendekatan dalam memutus perkara sejenis seperti ini terus dilakukan, saya sangat, sangat, sangat cemas dan khawatir Mahkamah justru sedang menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik dalam memutus berbagai political questions yang pada akhirnya akan meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap Mahkamah. Quo vadis Mahkamah Konstitusi?” tandasnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat membongkar tiga keganjilan dari lima perkara yang menguji aturan batas usia capres dan cawapres, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUUXXI/2023, Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, Nomor 90/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023. Tiga keganjilan tersebut, yakni penjadwalan sidang yang terkesan lama dan tertunda, pembahasan dalam RPH, serta Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 ditarik tetapi tetap dilanjutkan. Proses persidangan Pasca Persidangan Perbaikan Permohonan menuju Pemeriksaan Persidangan dengan agenda Mendengarkan Keterangan DPR dan Presiden terkesan terlalu lama, bahkan memakan waktu hingga 2 (dua) bulan, yakni pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 dan 1 (satu) bulan pada Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023. Meskipun hal ini tidak melanggar hukum acara baik yang diatur di dalam undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi. Namun penundaan perkara a quo berpotensi menunda keadilan dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri (justice delayed, justice denied).
Terkait RPH, Arief menyebut Ketua MK Anwar Usman tidak hadir dalam RPH untuk tiga perkara, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUUXXI/2023, dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023. Alasan kala itu untuk menghindari konflik kepentingan karena kerabat Ketua MK berpotensi diusulkan dalam kontestasi Pemilu Presiden 2024 sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh salah satu partai politik, sehingga Ketua memilih untuk tidak ikut dalam membahas dan memutus ketiga perkara a quo. Namun demikian, pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 dengan isu konstitusionalitas yang sama, Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar “dikabulkan sebagian”.
“Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima oleh penalaran yang wajar. Tindakan Ketua ini kemudian saya pertanyakan dan persoalkan di dalam RPH. Setelah dilakukan konfirmasi pada sidang RPH hari Kamis, tanggal 21 September 2023, Ketua menyampaikan bahwa ketidakhadirannya pada pembahasan dan forum pengambilan keputusan pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 lebih dikarenakan alasan kesehatan dan bukan untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) sebagaimana disampaikan Wakil Ketua pada RPH terdahulu,” urai Arief.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menegaskan jika Mahkamah mengabulkan Permohonan ini, baik seluruhnya maupun sebagian, maka yang sejatinya terjadi adalah Mahkamah melakukan praktik yang lazim dikenal sebagai ”legislating or governing from the bench” tanpa didukung dengan alasan-alasan konstitusional yang cukup (sufficient reason) dalam batas penalaran yang wajar. Hal ini menjadikan Mahkamah masuk sangat jauh dan begitu dalam kepada salah satu dimensi dan area yang paling fundamental bagi terselenggaranya kekuasaan legislatif yang baik dan konstitusional, yakni fungsi representasi parlemen sebagai salah satu refleksi serta implementasi utama dari prinsip “kedaulatan rakyat” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Oleh karena itu, jelas Wahiduddin, Mahkamah dalam rangka memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini seharusnya (sekali lagi) meyakinkan kepada publik dan khususnya Pemohon bahwa adakalanya kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu diselenggarakan dalam bentuk “kemerdekaan untuk tidak melakukan sesuatu” (The Dont’s; judicial restraint) yang secara manusiawi memang relatif lebih sulit untuk dilakukan, sebab manusia memang secara alamiah cenderung lebih tertarik untuk melakukan sesuatu ketimbang menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu. “Menimbang bahwa berdasarkan beberapa uraian argumentasi tersebut di atas, saya berpendapat Mahkamah seharusnya menolak Permohonan Pemohon,” ujarnya.
Kemudian pendapat berbeda juga diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo yang berpendapat terhadap Pemohon yang memohon agar norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu dimaknai sebagaimana selengkapnya dalam petitum permohonannya yang bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, adalah juga tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo. Sehingga pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, mutatis mutandis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pertimbangan hukum dalam pendapat berbedanya dalam putusan permohonan a quo.
Sementara dua alasan berbeda diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh. Keduanya berpendapat permohonan tersebut dikabulkan dengan syarat berpengalaman sebagai gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Enny menjelaskan jika dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XXI/2023, Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Nomor 55/PUU-XXI/2023, di mana Mahkamah telah memutus menolak permohonan Pemohon (para Pemohon), sekalipun khususnya dalam perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang didalilkan adalah berpengalaman sebagai penyelenggara negara. Dalam cakupan penyelenggara negara terdapat kepala daerah. Dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XXI/2023 yang mutatis mutandis berlaku untuk pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi 55/PUU-XXI/2023, permohonan para Pemohon pada pokoknya tidak secara jelas menguraikan pada batasan mana penyelenggara negara dimaksud dikatakan berpengalaman yang setara dengan jabatan Presiden atau Wakil Presiden. Sementara itu, alasan berbedanya dalam permohonan Pemohon a quo dikarenakan dalil Pemohon telah secara spesifik menguraikan kaitan dengan berpengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, namun sesuai dengan tingkatan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan maka dalam konteks ini gubernur sebagai kepala daerah otonom dan juga wakil pemerintah pusat yang relevan untuk mendekat pada level penyelenggara urusan pemerintahan yang lebih tinggi.
“Sehingga alasan saya tersebut tidak menegasikan pandangan saya sebagai bagian yang memutus perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Nomor 55/PUU-XXI/2023. Dengan demikian, saya memiliki alasan berbeda dalam mengabulkan sebagian dari petitum Pemohon yakni ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang’,” sebut Enny.
Dalam sidang yang sama, Mahkamah menolak tiga permohonan, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh PSI dan empat Pemohon perseorangan; Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Garuda; dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan Erman Safar,dkk. Tak hanya itu, Mahkamah juga menyatakan dua perkara tidak dapat diterima, yakni Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Arkaan Wahyu Re A dan Perkara Nomor 92/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Melisa Mylitiachristi Tarandung serta satu permohonan ditarik kembali, yakni Perkara Nomor 105/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Soefianto Soetono dan Imam Hermanda.