PENYELENGGARA PEMILU YANG BERINTEGRITAS

Oleh Pita Anjarsari

Div. Hukum dan pengawasan KPU Kota Madiun

 

          Pasca Reformasi 1998, besar harapan publik kepada penyelenggara pemilu untuk mewujudkan pemilu yang jujur dan adil. Hal ini wajar, mengingat pada masa sebelum reformasi hasil pemilu di Indonesia yang tidak sepenuhnya dipercaya publik. Dalam perjalanannya hingga penyelenggaraan pemilu 2004 sistem pemilu dan penyelenggara pemilu semakin mandiri dan menjadi poin penting penyelenggaraan pemilu selanjutnya. Apresiasi publik terhadap penyelenggara pemilu yang independen dan tidak berpihak memang terlihat positif manakala penyelenggaraan dua jenis pemilu (pemilu legislatif dan pemilu presiden) berlangsung aman dan terkendali dengan baik. Sejak penyelenggaraan pemilu tahun 1999, secara umum permasalahan yang dihadapi oleh penyelenggara pemilu adalah independensi namun menjadi permasalahan yang sangat krusial yang sudah tuntas dibahas oleh para politisi DPR pada tahun 2002 manakala anggota KPU dan Bawaslu bukanlah anggota partai politik dan badan tersebut merupakan bagian yang mandiri di luar eksekutif pemerintahan.

 

          Di sisi lain, untuk meneguhkan independensi, penyelenggara pemilu juga telah menunjukkan sikap imparsialitas, meski pada kenyataannya hal ini sulit untuk dilakukan manakala para peserta pemilu (partai politik dan kandidat) terus berusaha menggoda para penyelenggara untuk melakukan manipulasi hasil pemilu. Kehadiran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebenarnya mereduksi adanya godaan tersebut bagi para penyelenggara. Perjalanan panjang penyelenggara pemilu hingga pada titik sekarang ini tidaklah mudah. Saat ini pun selain sikap imparsial, menjadi penyelenggara pemilu yang memiliki integritas menjadi titik poin yang sangat penting.

 

          Dalam ranah integritas, dalam konteks ini penyelenggara pemilu sebenarnya telah berusaha keras dengan menunjukkan sikap kemandirian dalam semua tahapan yang dilalui dan menjalankan amanah penyelenggaraan pemilu sesuai dengan peraturan perunundang-undangan yang berlaku.  Akan tetapi prinsip dan sikap integritas tidak dapat berdiri sendiri, dan tidak bisa hanya menjadi prinsip penyelenggara pemilu saja. Integritas erat kaitannya dengan sikap lainnya, seperti imparsialitas dan independensi. Integritas penyelenggara pemilu tidak hanya melekat pada karakter individual para komisioner, juga sangat dipengaruhi dukungan atau intervensi dari pihak luar, seperti peserta pemilu ataupun pemerintah sendiri. Memang benar, penyelenggara pemilu yang berintegritas adalah salah satu faktor terwujudnya pemilu yang berintegritas pula. Oleh karenanya  penyelenggara pemilu seharusnya menyadarinya ada beberapa prinsip dasar yang menjadi acuan utama dalam mengelola pemilu yang kompleks ini.

 

          Pada kajian istilah kuno, erkait dengan konsep korupsi, Philip Bosman menyebut istilah 'integritas' sebagai situasi yang berlawanan dengan konsep korupsi. Dalam bahasa Latin disebut 'integer', yang artinya 'utuh', 'tidak cedera', 'keutuhan', 'kesempurnaan' yang mengindikasikan situasi keutuhan, tidak tercemar dan dilanggar, rusak atau dibusukkan. Diulang kembali, sehingga dalam rananh penyelenggara pemilu bahwa integritas bagian utama yang menyokong kualitas penyelenggaraan pemilu. Jadi tidak hanya soal profesionalisme dan kapasitas sehingga setiap penyelenggara pemilu, baik anggota maupun setiap individu yang bekerja dalam lembaga penyelenggara pemilu seharusnya juga menjadi pribadi yang memiliki integritas.

 

Mewujudkan pemilu yang berintegritas kembali saya katakan bahwa tidak cukup peneyelenggara baik secara individu maupun kelembagaan memiliki prinsip dan sikap integritas, namun Electoral integrity membutuhkan sistem hukum dan kelembagaan yang mendorong dan melindungi pemilu yang adil dan merata. Selain itu diperlukan langkah strategis dan sinergi yang baik antara penyelenggara pemilu, pemerintah (pembuat undang-undang), peserta pemilu dan pemilih. Dalam portal Administration and Cost of Elections (ACE) Project disebutkan terdapat beberapa prinsip panduan yang dapat dijadikan acuan sebagai penyelenggara pemilu untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas.

 

          Pertama, Respect for Principles of Electoral Democracy. Menegakkan dan menghormati prinsip demokrasi menjadi kunci pertama untuk mewujudkan penyelenggara pemilu yang berintegritas. bagaiamana prinsip demokrasi, bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama yaitu hak memilih dan dipilih, hak pilih yang sama, menajaga kerahasiaan suara kontituen, memiliki akses yang sama tentang pemilu dan kampanye, pemilu diselenggarakan dengan teratur dan terjadwal serta hasil pemilu yang diputuskan berdasarkan suara pilihan warga negara. Artinya dalah prinsip ini sebagai penyelenggara pemilu tidak memihak kepada siapapun memperlakukan peserta pemilu dengan porsi yang sama dan penyelenggara pemilu pada posisi tidak memiliki hubungan langsung dengan pihak eksekutif ataupun pihak yang berkepentingan dalam politik praktis (independen). Pemilu yang berintegritas membutuhkan proses pemilihan yang transparan, adanya peraturan perundang-undangan, peraturan dan sistem pemilihan yang adil; peluang yang setara untuk semua peserta, penyelenggara pemilu yang independen dan tidak memihak; tidak adanya intimidasi dari pihak manapun, memilki prosedur yang tepat dan hasil pemilu yang akurat.

 

          Kedua, Ethical Conduct. Perilaku etis sebagai penyelenggara pemilu dalam prinsip kedua harus bisa menunjukkan penyelenggara pemilu yang bebas dari pengaruh, tekanan dan intervensi serta penyelenggara pemilu yang berperilaku dan bersikap adil. Serta mencegah secara pribadi maupun kelembagaan sebagai penyelenggara pemilu dari perbuatan yang membahayakan integritas. Artinya penyelenggara pemilu harus memiliki sikap imparsial. Untuk mencapai hal ini, semua peserta harus melaksanakan tugas atau peran mereka secara profesional, transparan, dan tidak memihak. Ini berarti penyelenggara pemilu tidak boleh menggunakan posisi mereka untuk keuntungan pribadi atau partisan. Peserta pemilu tidak boleh menyalahgunakan kontribusi dan peserta kampanye. Atau pihak luar yang berkepentingan tidak boleh menggunakan uang atau insentif lain untuk mempengaruhi penyelenggara pemilu yang menyalahi aturan perundang-undangan.

 

          Ketiga, Professionalism and Accuracy. Disini poinnya, peneyelenggara pemilu itu berintegritas. Masalah integritas sering dianggap sebagai hasil dari praktik yang tidak jujur atau curang. Sangat penting bagi penyelenggara pemilu untuk menjadi bersikap profesional dan akurat. Penyelenggaraan tahapan pemilu yang tidak hati-hati atau tidak akurat dalam penghitungan suara dapat menimbulkan masalah integritas dan akan muncul isu adanya manipulasi hasil. Sehingga penyelenggara pemilu harus melaksanakan semua tahapan sesuai dengan waktu dan jadwal yang ditentukan. Penyelenggara pemilu memiliki sikap integritas jika ditopang oleh kemandiriannya yang penuh dalam melakukan kontrol semua proses pemilu, termasuk penetapan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi.

 

Keempat, Institutional Safeguards. Pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara institusi penyelenggara pemilu digunakan untuk melindungi integritas pemilu. selain itu pembagian tugas dan wewenang ini untuk menjaga transparansi kinerja penyelenggara pemilu dan menghindari segala prasangka dan kecurigaan terhadap proses pemilu yang cenderung penuh intrik kepentingan politik. Sebagaimana pembagian tugas dan wewenang anatar penyelenggara pemilu yang dijelaskan dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dalam UU Pemilu ini ada tiga lembaga yang fungsinya saling terkait dalam menyelenggarakan Pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Bahwa dalam pasal 8 dijelaskan Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disingkat KPU adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dalam melaksanakan Pemilu. Sedangkan pasal 17 Badan Pengawas Pemilu yang selanjutnya disebut Bawaslu adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang mengawasi Penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. selanjutnya pasal 24 Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang selanjutnya disingkat DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu.

 

Kelima, Oversight and Enforcement. Penyelenggara pemilu melaksanakan setiap tahapan pemilu dialukan dengan efektif dan efisien, memastikan tidak adanya proses kecurangan pada pelaksanaan tahapan. Dalam hal ini penyelenggra pemilu diminta untuk menerapkan standar efisiensi dalam setiap tahapan pemilu. dan melakukan npengawasan secara internal maupun eksternal dalam efisiensi tahapan pemilu untuk membangun kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu.

 

 

Keenam, Transparency and Accountability. Transparansi dalam penyelenggaraan pemilu merupakan salah satu hal yang menentukan kepercayaan publik akan hasil pemilu. proses penyelenggaraan pemilu yang aksesibel merupakan hal penting dalam membangun kepercayaan publik. Pemilih maupun peserta pemilu dapat mengakses dengan mudah berbagai informasi terkait tahapan penyelenggaraan pemilu juga merupakan upaya penyelenggara pemilu untuk mewujudkan prinsip transparansi. Namun dalam menyediakan informasi publik tentunya juga harus prosedural dan terperinci sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal lain yang perlu dilakukan pula adalah membangun komunikasi yang baik antara pembuat kebijakan, penyelenggara pemilu dan peserta pemilu dapat membantu membangun penyelenggaraan pemilu yang transparan.  Prinsip transparansi dalam menyelenggarakan pemilu juga juga membangun pemahaman tentang proses, tantangan yang dihadapi, dan dan memahami setiap tahapan pemilu. Dengan demikian transparansi yang lebih besar meningkatkan kredibilitas proses dan legitimasi hasil. Jika proses pemilihan bebas dan adil, akurat, transparan dan dipantau dengan baik, dan jika undang-undang dan peraturan ditegakkan dengan benar, akan lebih sulit bagi peserta dan pemilih untuk menolak hasil pemilihan atau legitimasi perwakilan yang baru terpilih.