Pemilu di Indonesia merupakan Pemilu dengan kompleksitas tinggi dan menjadi salah satu yang paling mahal di dunia. Hal ini terungkap dalam Webinar Nge-HIK (Ngobrol Enak Hidangan Informasi Kepemiluan) dengan tema Upaya Mengelola Kompleksitas Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024 yang diselenggarakan oleh KPU Kota Surakarta, Kamis (11/11) secara virtual melalui aplikasi zoom. Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan Sri Suasti beserta jajaran Sub Bagian Hukum KPU Kota Cimahi turut mengikuti acara yang menghadirkan narasumber Anggota KPU RI Hasyim Asy'ari, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Luqman Hakim, dan Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Agus Riewanto ini.
Hasyim Asy’ari menyatakan karena tidak adanya revisi Undang-Undang Pemilu, maka cara pandang Pemilu dan Pemilihan serentak tahun 2024, akan sama dengan cara pandang Pemilu tahun 2019 dan Pemilihan serentak tahun 2020. Terkait tahapan Pemilu dan Pemilihan tahun 2024 yang akan beririsan, Hasyim mengingatkan agar semua pihak mempersiapkan diri dengan perencanaan yang baik, baik sebagai penyelenggara, peserta, pemilih, maupun pemerintah yang menyediakan anggaran.
Luqman Hakim memandang secara teknik manajerial, KPU sudah menyiapkan Pemilu tahun 2024 secara lengkap. Dalam hal belum ditentukannya hari-H pemungutan Suara Nasional Pemilu tahun 2024, Luqman menyatakan seharusnya KPU mempunyai keberanian untuk menetapkan hari-H. “Takutnya, Jika KPU tidak ada keberanian, dikhawatirkan akan butuh waktu cukup lama bagi bangsa kita mempunyai patokan hari-H pemungutan suara”, tambahnya.
Fenomena memprihatinkan pada Pemilu 2019 dan Pemilihan tahun 2020 pun tidak luput dari catatan Wakil Ketua Komisi II DPR RI ini. setidaknya ada lima fenomena yang harus disikapi, diantaranya, pertama menguatnya politik identitas bernuansa SARA, kedua fenomena makin luas, masif, dan terbukanya money politic yang dapat membajak kedaulatan rakyat, dan menyebabkan output proses Pemilu dan Pemilihan akan semakin terwarnai kecenderungan terbentuknya pemerintahan yang koruptif, tidak melayani rakyat tetapi lebih menjadi pelayan kepentingan oligarki yang pada akhirnya akan merugikan rakyat.
Fenomena ketiga yang ia soroti adalah banyaknya jumlah surat suara dan desain surat yang cukup menyulitkan bagi pemilih pada saat pemungutan suara. Pemilu dengan lima kertas suara, tanpa manajemen yang memadai menyebabkan kebingungan, sehingga berimbas pada banyaknya surat suara yang tidak sah. Hal ini juga mengakibatkan beban penyelenggara semakin berat, terlihat dari banyaknya penyelenggara yang jatuh sakit, bahkan meninggal dunia. Fenomena selanjutnya adalah belum memadainya regulasi tentang koalisi. Tidak jelasnya nasib koalisi setelah selesainya Pemilu, terlihat dari munculnya negosiasi antara pihak pemenang dengan pihak yang sebelumnya menjadi rival, hal ini dapat menyebabkan adanya sebagian rakyat yang merasa dikhianati dan kepentingannya dikorbankan. Fenomena terakhir yang Luqman soroti adalah posisi sulit anggota DPRD dalam penyelenggaraan fungsi DPRD. Keanggotaan DPRD harus ditegaskan bukan bagian dari pemerintah daerah, tapi dalam tatanan legislatif.
Agus Riewanto menyebutkan Pemilu di Indonesia merupakan Pemilu dengan kompleksitas tinggi. Salah satu kompleksitas dalam penegakkan hukum yang ia soroti adalah adanya praktek justice in many room. Terlalu banyaknya lembaga penegak hukum Pemilu (Bawaslu, Gakumdu, PTUN, MA, MK) akan membuka peluang ”mencoba peruntungan”, sehingga penyelenggara dan peserta akan menghadapi banyak proses persidangan yang tidak efektif dan melelahkan.
Menyikapi kompleksitas yang akan dihadapi pada Pemilu dan Pemilihan tahun 2024, pada intinya para narasumber menyepakati bahwa KPU sebagai penyelenggara dituntut untuk mampu mengelola kompleksitas yang ada, dengan cara harus belajar dari pengalaman dan mampu memberikan aksi yang solutif, yang bisa memperbaiki kekurangan-kekurangan pada penyelenggaraan Pemilu sebelumnya.