Ramli Ondang Djau - Menarik saat berbincang dengan Pak DR. Ulber Silalahi salah satu pakar administrasi publik dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung, soal partisipasi publik dalam Pemilu. Beliau menyebut terlalu mainstream jika yang menjadi ukuran tingkat keberhasilan dari penyelenggaraan pemilihan umum itu adalah salah satunya tercapainya angka partisipasi pemilih dalam pemilu secara kuantitatif. Menurutnya, partisipasi hanya akan menjadi deretan angka secara kuantitatif yang belum tentu mewakili makna partisipasi secara kualitas. Bagi keberlangsungan demokrasi berkualitas ini penting diseriusi dan bagi penyelenggara pemilu sendiri narasi ini adalah langkah evaluatif untuk perbaikan penyelenggaraan sosialisasi dan pendidikan pemilih. Pertanyaan lepas dari bahasan ini adalah apakah ketercapaian angka partisipasi pemilih pada setiap event pemilu mewakili kualitas kebermaknaan? Atau apakah yang disebut partisipasi langsung dalam pemilu benar-benar memiliki arti penting pada setiap individu pemilih dan membekas, sehingga setiap even pemilu menjadi moment istimewa bagi pemilih? Pembahasan tersebut sesungguhnya hendak menggambarkan hal-hal prinsip dan teknis berkait dengan proses dan tahapan yang harus dilalui agar bisa dipastikan bahwa partisipasi pemilih dalam pemilu benar-benar memiliki kebermakanaan yang berarti, paling tidak bukan hanya secara kuantitatif tercapai tetapi juga secara kualitas terpenuhi.
Secara historis, diskusi ini hendak mengungkapkan dua kondisi : Pertama, adanya suatu kenyataan sejarah dimana masyarakat telah sekian lama hidup dibawah hegemoni politik. Akibat dari ini adalah masyarakat berada dalam represi ideologi, dengan demikian kesadaran politik rakyat bisa diduga merupakan kesadaran hasil “bentukan” dari kekuaatan politik tertentu, serta aspirasi rakyat dalam bentuk the voter’s choice dengan sendirinya bukan aspirasi yang sesungguhnya, sangat mungkin pilihan pemilih yang disampaikan merupakan aspirasi “pantulan” dari hegemoni kekuatan politik tertentu. Kedua, sangat berlebihan jika hendak menyebutkan bahwa trauma sejarah ini membuat rakyat telah kehilangan institusi lokal dan kecerdasan lokal, sebagai akibat dari “tekanan” politik elit, dibanyak kasus ini adalah fakta. Hal ini mengakibatkan rakyat tidak memiliki kembali saluran yang bisa dipercaya, dan bisa memberikan rasa aman atas apa yang dirasa dan apa yang dipikirkan. Institusi politik yang diharapkan sebagai sarana sosialisasi dan komunitas politik telah gagal menempatkan dirinya sebagai institusi yang mencerdaskan. Situasi demikian membuat rakyat semakin tidak terorganisir dan tampil sebagai individu-individu yang terpisah dan cenderung pragmatis, rakyat dengan sendirinya tidak lagi terlatih untuk jujur mengaktualisasikan aspirasi dan hak pilihnya, bahkan sebaliknya lebih banyak menerima intervensi dalam partisipasi politiknya.
Kedua kondisi tersebut justru menjadikan masyarakat sebagai bulan-bulanan kepentingan, kepercayaan menjadi barang langka, dan akhirnya rakyat menjadi tidak terbiasa untuk jujur pada partisipasi politiknya. Hipokrisi akan selalu menjadi bagian dari partisipasi politiknya, seseorang akan sangat mudah mengatakan “saya memilihnya”, tetapi secara nurani tidak. Seseorang akan dengan gampang berpura-pura mendukung pilihannya, padahal apa yang sebenarnya bisa jadi tersembunyi. Sehingga apa yang diharapkan dari kebermaknaan partisipasi masyarakat pada pemilu tidak terpenuhi. Lagi-lagi ukuran ketercapaian partisipasi hanya akan berkutat pada seberapa besar dan seberapa luas bukan pada “seberapa dalam” partisipasi masyarakat pada pemilu itu dipenuhi. Lantas apa yang hendak dilakukan untuk menjadikan partispasi masyaraka menjadi benar-benar bermakna?
Keluar Dari Lorong Gelap
Pertanyaan dasar yang signifikan adalah bagaimana mengupayakan agar ketercapaian partisipasi pemilih dalam pemilu memiliki makna, berkesan dan membekas? Pertanyaan ini hendak melangkah lebih jauh, bukan lagi mempersoalkan apakah bisa atau tidak, melainkan masuk dalam pencarian bagaimana menciptkan kemungkinan. Tidak berlebihan bila menyebut ketercapaian angka partisipasi pemilih dalam pemilu adalah bukan merupakan jawaban final bagi proses demokratisasi di Indonesia, karena jika narasi pemilu sebagai instrument demokrasi, sudah seharusnya memposisikan rakyat pada porsi istimewa yang akan menjadi jalan bagi demokratisasi yang substansial. Kedaulatan benar-benar berada ditangan rakyat. Jika telah menempatkan rakyat pada posisi ini, maka sesungguhnya demokrasi kita telah melewati lorong sempit nan gelap, seperti kekhawatiran Thomas Hobbes pada 380 tahun lalu dalam publikasinya tentang Leviathan dimana jika tidak di “jinakkan” oleh kedaulatan rakyat yang proporsional maka negara akan sangat kuat dan berkuasa dan merubah wujud menjadi “monster” Leviathan menjadi Despotic Leviathan.
Dibanyak negara demokrasi, pemilu dijadikan lambang dan tolak ukur dari demokrasi itu. Pemilu adalah arena kompetisi dimana rakyat seringkali menjadi objek sekaligus subjek dalam memenangkan kompetisi. Sebagai elemen kunci tentu saja pemilu harus dilaksanakan secara demokratis pula. Secara substantif pemilu seringkali disebut sebagai “penyampaian” suara rakyat untuk terbentuknya Lembaga perwakilan dan Pemerintahan sebagai Penyelenggara Negara, yang diwujudkan dalam bentuk Hak Pilih (rights to vote). Demokrasi menjamin kebebasan rakyat dalam menentukan pilihan, menjamin Hak Pilih rakyat. Maka dalam rangka menjamin kebebasan memilih itu harusnya dimaknai sebagai bentuk upaya mengeluarkan pemilu dari lorong gelap, sejarah kelam demokrasi kita sedikit banyak telah mengajarkan banyak hal, menciptakan banyak trauma politik. Satu-satunya jawaban atas sejarah itu adalah dengan memberikan kesempatan kepada rakyat menggunakan hak pilihnya dalam pemilu dengan benar, berpatisipasi dalam pemilu, tidak hanya sekedar secara kuantitatif meningkat, akan tetapi bermakna secara kualitas. Untuk mewujudkan kebermaknaan atas partisipasi tersebut setidak-tidaknya ada tiga hal yang menurut penulis menjadi fokus perhatian dan perlu dimatangkan : Pertama, Membangun Kesadaran (awareness building) masyarakat akan Pemilu dan pentingnya bagi keberlangsungan demokrasi. Masyarakat harus lebih dulu tahu sebelum mereka hadir memilih, tidak hanya soal ‘kapan’, ‘dimana’ dan ‘apa’ itu pemilu, tetapi juga harus merangsang minatnya. Dengan begitu maka pemilu bagi mereka tidak hanya “ritual” periodik lima tahunan tetapi akan lebih berkesan, karena pemilu dianggap sebagai momentum penting paling dinanti untuk sama-sama berkontribusi dan menentukan nasib bangsa; Kedua, mengedukasi pemilih tentang pemilu untuk meningkatkan pengetahuan dan kapasitas pemilih dalam menggunakan haknya. Masyarakat tidak boleh buta pemilu, tidak boleh tidak tahu siapa yang akan di pilihnya. Pendidikan terhadap pemilih ini seyogyanya menitik beratkan pada apa, siapa dan bagaimana memilih, serta tujuan untuk menyalurkan plihan. Hendaknya edukasi yang diharapkan adalah semata-mata untuk mencerdaskan pemilih, mentransformasikan kesadaran pada ketrampilan menyalurkan partisipasinya, sehingga masyarakat bisa keluar dari tradisi “bisu” dan menyembunyikan maksud dibawah tekanan kekuatan politik; Ketiga, merevitalisasi peran penyelenggara pemilu dan peserta pemilu (partai politik dan pasangan calon) untuk memperkuat terwujudnya masyarakat pemilih yang sadar dan cerdas. Meningkatkan kesadaran dan kecerdasan pemilih tidak hanya sebagai tugas pemerintah, LSM, lembaga pendidikan non formal serta stakeholder lainnya, tetapi juga menjadi tanggung jawab penting penyelenggara pemilu yang berintegritas dan peserta pemilu yang berintegritas pula. Dalam konteks ini KPU telah mengambil peran penting, antaranya : pendidikan pemilih berbasis, sosialisasi pemilu dengan segmentasi dan program termutakhir KPU dalam membangun kesadaran pemilih dengan menggiatkan Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3) dengan fokus pada melahirkan Volunteer Pemilu berbasis desa untuk merangsang minat masyarakat dalam berpartisipasi pada pemilu.
Ketiga hal tersebut merupakan pra kondisi untuk menjamin bagi suatu proses pemilu yang bermakna dan terselenggara dengan baik dan benar. Hal ini secara tidak langsung akan mengasumsikan bahwa Pemilih telah “terlatih” secara baik. Tanpa adanya pra kondisi ini, dalam arti mengembangkan kesadaran dan pendidikan politik, maka partisipasi secara langsung dalam pemilihan tidak akan memberi banyak arti. Menyongsong pemilu serentak yang akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024, pra kondisi tersebut menjadi prasyarat utama bagi kebermaknaan partisipasi politik pemilih dalam pemilu sebagai jaminan terselenggaranya pemilu demokratis serta bermakna, dan KPU sudah cukup siap untuk itu.