Oleh : Suwandi

"Saya menilai Indonesia belum siap menerapkan 'e-voting' pada Pemilu 2014. Jika tetap dilakukan akan timbul pertanyaan, apakah kita mau mempercayakan keselamatan dan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan hukum kita pada sistem yang tidak terpercaya?," kata dosen Teknik Informatika Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Manik Hapsara.

Terus kapan lagi siapnya he..he..he. ?

Kapan lagi…sir ?

Kapan lagi, kalau tidak dimulai sekarang. Kapan lagi…….?

Cuplikan kata di atas sering kita dengarkan, bilamana ada sesuatu perubahan dalam kehidupan bermasyarakat yang belum juga dilaksanakan atau diterapkan, padahal dampak positifnya lebih banyak daripada negatifnya. Termasuk penerapan e-Voting  dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia.

Bangsa Indonesia telah merdeka 71 tahun dan era reformasi sudah berjalan 18 tahun, belum ada catatan perubahan signifikan dalam penyelenggaraan pemilihan umum, hanya ada perubahan sedikit, semisal : pada era Orde Baru (1965 – 1998) pemilihan umum, seperti pemilihan presiden, wakil presiden, gubernur dan bupati/walikota  dilakukan dengan perwakilan atau penunjukan, sedangkan di era reformasi pemilihan semacam itu dipilih langsung oleh rakyat yang telah memenuhi persyaratan. Dari beberapa aspek, semisal : pembiayaan pemilihan umum di era reformasi ini semakin menguras anggaran baik pemerintah maupun non pemerintah. Banyaknya jumlah partai politik juga salah satu penyebabnya borosnya anggaran.

Bayangkan saja selama ini dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia melibatkan banyak warga masyarakat sebagai badan ad hoc penyelenggara pemilihan, mulai dari tingkatan TPS/KPPS, PPS, PPK, Panwaskab, Panwascam, PPL, Pengawas TPS, yang kesemuanya itu didukung oleh honorarium/upah bulanan, maksimal 9 (Sembilan) bulan sebelum pelaksanaan coblosan di mulai. Dari segi kebutuhan pemilihan berapa rupiah yang dikeluarkan untuk mencetak kertas suara, peralatan pemilihan dan sejenisnya ? berapa rupiah juga, biaya yang dipergunakan untuk penyuluhan, bimtek, sosialisasi, dan distribusi, operasional kantor dan lain – lainnya ?

Contoh hitungan sederhana, anggaran yang diperlukan satu Kelurahan setingkat PPS dengan 10 TPS dalam penyelenggaran sebuah pemilihan, hanya untuk membiayai honorarium :

 

No.

Uraian

Biaya (Rp.)

1

PPS 6 orang

6 orang x Rp. 500.000 x 9 bulan

27.000.000

2

KPPS 9 orang x 10 TPS

90 x Rp. 300.000

27.000.000

3

PPL di setiap Kelurahan 1 orang

1 orang x Rp. 300.000 x 9 bulan

2.700.000

4

Petugas Pengawas per TPS, 10 orang

10 orang x Rp. 300.000

3.000.000

5

Keperluan administrasi PPS, dll

9 bulan x Rp. 300.000

2.700.000

6

Keperluan administrasi PPL

9 bulan x Rp. 200.000

1.800.000

Jumlah

64.200.000

 

Bayangkan anggaran sebesar itu dikalikan banyak di TPS di sebuah wilayah kecamatan, kabupaten dan provinsi, berapa milyar yang dibutuhkan ?

Bagaimana dengan e-voting ?

Awalnya memang sulit, sukar, ribet dan sebagainya, namun jika diniati dengan sesungguh-sungguhnya awal yang sulit pasti akan berlanjut dengan kemudahan-kemudahan. Bagaimana pendidikan membangun evaluasi siswa dengan berbasis computer, berapa anggaran yang diperlukan, berapa kesulitan yang dihadapi, dan bagaimana hasilnya ?

Demikian juga dengan e-Voting ini, kapan dibangun ? Kapan dimulai ? Kalau tidak sekarang kapan lagi. Awal muasal adalah perangkat keras dan jaringan yang jadi permasalahan, dilanjutkan dengan pengelolaan dan pemeliharaannya. Mindset kita harus segera berubah, secara bertahap, secara per wilayah, membangun e-Voting adalah sebuah investasi untuk demokrasi di Republik Indonesia ini.

Pemilu juga tidak demikian hanya sehari bila e-Voting itu diberlakukan, panitia penyelenggara tidak sebanyak saat ini dan anggaran yang besar itu. Panitia ad hoc terendah ada di tingkat Kelurahan setingkat PPS, lamanya Pemilihan bisa sampai seminggu karena diupayakan dari pintu ke pintu, maka tingkat partisipasi pemilih akan meningkat, serta yang tidak kalah pentingnya adalah anggaran dapat dihemat sekitar 60 %.

Itulah apalah bentuknya, semua hasil dari produk manusia itu pasti ada kelebihan dan kekurangannya, termasuk e-Voting ini. Secara logika umum, pelaksanaan e-Voting bertujuan untuk mengurangi peluang kesalahan dan penyalahgunaan dalam proses pemungutan dan penghitungan suara yang berarti mengurangi waktu dan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat. Penggunaan e-Voting dalam Pemilu menghasilkan suatu proses yang cepat, dan tidak hanya vote (melakukan pemilihan), tetapi juga counting the vote (menghitung suara). Dalam waktu yang cepat, setelah semua pemilih selesai memberikan suaranya, akan langsung ketahuan si A mendapatkan berapa persen dan si B mendapatkan berapa persen; dan hasil akhirnya ada di unit kontro

Dari kajian BPPT, untuk satu set alat perlengkapan e-voting dibutuhkan dana sebesar Rp 11 juta. Jumlah ini dinilai lebih murah dibandingkan pencetakan kertas suara dan kebutuhan lainnya setiap kali pemilu dilakukan. Selanjutnya masyarakat, pemerintah terendah tinggal memelihara perangkat pemilu tersebut untuk pemilu selanjutnya.

Disisi lain, semacam quick count tidak dibutuhkan lagi kalau e-Voting diterapkan, lembaga-lembaga survei siap-siap untuk membubarkan diri. Para ahli politik berkesimpulan, bahwa pemberlakuan e-Voting ini akan menjawab berbagai permasalahan seperti kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu, kerisauan-kerisauan masyarakat yang tinggi, dan mahalnya biaya pelaksanaan Pemilu.

Dari gambaran di atas, perlu kiranya segera melakukan reformasi dalam penyelenggaraan pemilihan, baik secara menyeluruh maupun secara bertahap. Jangan menunda-nunda sampai kapan, belum siap dan sebagainya sebagai alasan klasik. Semua harus bersatu padu memulainya, pemerintah dengan payung hukumnya, masyarakat dengan partisipasinya. Insyaalloh akan barokah dan akan mengalami perubahan yang signifikan selanjutnya, selain hemat, praktis dan tidak keluar dari hiruk pikuknya aspek yang dianut dalam penyelenggaraan pemilihan umum selama ini, antara hak dan kewajiban penyelengara, warga masyarakat, dan stakeholders tidak dilanggar.

Wacana perubahan dari tata cara konvensional kearah yang lebih modern dalam penyelenggaraan pemilihan di Indonesia mulai terungkap sedikit demi sedikit, pemerintah sebagai pembuat payung hukumnya mulai melakukan eksen, penyelenggara Pemilu, KPU dan bawaslu mulai melakukan kajian-kajian, masyarakat tinggal siap Sumberdaya Manusianya.

Hal ini telah dimulai dari lembaga kontitusi tertinggi mulai menggerakkan gerbongnya. Bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemungutan suara dengan metoda e-Voting dapat digunakan dan tidak melanggar konstitusi. MK menyatakan e-Voting dapat digunakan asalkan memenuhi sejumlah persyaratan kumulatif, yakni tidak melanggar asas Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) serta jurdil (jujur dan adil).

Dalam putusan MK pada hari Selasa, 30 Maret 2010, sesuai dengan Amar Putusan No. 147/PUU-VII/2009 adalah sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga kata, “mencoblos” dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diartikan pula menggunakan metode e-Voting dengan syarat kumulatif sebagai berikut:

a)  tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil;

b) daerah yang menerapkan metode e-Voting sudah siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah yang bersangkutan, serta persyaratan lain yang diperlukan;

Pemungutan suara elektronik atau electronic voting (e-Voting) telah diperkenankan menjadi salah satu metode pemberian suara yang sah oleh Mahkamah Konstitusi dalam amar Putusan No. 147/PUU-VII/2009. Disamping keputusan MK tersebut diatas maka penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam pemilu juga telah mendapatkan landasan hukum yang kuat dengan telah diberlaskukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 yang mengatur tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Dalam UU ITE pasal 5 disebutkan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Dengan demikian maka hasil pemilu yang di hitung dan disampaikan secara elektronik telah dapat dipergunakan sebagai alat bukti hukum yang sah untuk menentukan hasil pemilu. Hal lainnya adalah perlunya rekomendasi teknis penyelenggaraan pemilu elektronik yang akan terus diperbaiki dan disempurnakan agar menjadi standar pemilu elektronik Indonesia untuk menjamin pemilu elektronik yang berkualitas dan bertanggung jawab.

Namun demikian Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (PTIK) dalam pemilihan umum (pemilu), pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan legislatif menjanjikan pemilu yang transparan dan akuntabel, cepat dan efisien sesuai dengan karakteristik utama TIK yang mampu menghilangkan jarak dan waktu serta menjamin transparansi. Pemilihan secara elektronik (e-voting) sendiri diharapkan mampu mengatasi permasalahan dalam penyelenggaraan pemilihan umum beberapa tahun sebelumnya. Oleh karena itu sudah saatnya melakukan perubahan-perubahan dalam sistem pemilu dengan tetap menggunakan enam azas pemilu Indonesia yaitu langsung, umum, bebas, rahasia (luber), serta jujur dan adil (jurdil).

Selamat mencoba, kapan lagi kalau tidak sekarang dimulai.

 

Daftar Pustaka :

·  Republika On-line : eVoting Pemilu Rentan Masalah?,  Friday, 26 April 2013, 21:53 WIB 

·  Media Indonesia On-line :  E-Voting Belum Cocok untuk Indonesia, Selasa, 20 September 2016 22:15 WIB Penulis: Arif Hulwan

·  Warta, Cerita dan Warna :Elektronik Vitong (E-Voting), selasa 02 April 2013

·  [www.kabarindonesia.com] :  MK Mendukung Penerapan e-Voting dalam Pemilu Elektronik di Indonesia, 03-Jul-2012, 22:39:46 WIB - Oleh : Rachmad Yuliadi Nasir